Menggantungkan diri pada makhluk ibarat meneguk air dari cawan yang retak. Setiap tetes yang kita harapkan tak pernah utuh sampai ke bibir, melainkan jatuh tercecer di jalan. Imam Ibn Hibbatillah al-Makkī dalam al-Tawbīkh menegur hati manusia yang terlalu percaya pada sesama, namun lupa bahwa sumber segala daya adalah Allah semata.
Di kota-kota besar Indonesia, banyak orang hidup dengan harapan pada manusia lain—atasan, politisi, bahkan popularitas media sosial. Mereka lupa, yang memberi rezeki bukanlah kantor, melainkan Tuhan yang membuka pintu-pintu langit. Rasulullah ﷺ mengingatkan:
«مَنْ تَعَلَّقَ بِشَيْءٍ وُكِلَ إِلَيْهِ»
“Barangsiapa bergantung pada sesuatu, maka ia akan diserahkan kepadanya.” (HR. al-Tirmiżī).
Ketika Sandaran Rapuh Menjadi Tempat Bersandar
Bayangkan seseorang bersandar pada tongkat yang rapuh, ia justru jatuh tersungkur. Demikian pula manusia yang hanya menggantungkan diri pada makhluk. Dalam al-Tawbīkh, Ibn Hibbatillah al-Makkī menulis:
«مَنْ رَكَنَ إِلَى الْعِبَادِ أُذِلَّ، وَمَنْ تَوَكَّلَ عَلَى رَبِّ الْعِبَادِ أُعِزَّ»
“Barangsiapa bersandar pada hamba, ia akan dihinakan; dan barangsiapa bertawakal kepada Rabb para hamba, ia akan dimuliakan.”
Betapa sering kita menyaksikan realitas ini. Seorang kawan pernah bercerita bagaimana ia habis-habisan mencari pekerjaan dengan mengemis kepada kerabat, namun ketika beralih kepada doa dan usaha yang jujur, rezeki datang dari arah yang tak terduga.
Menggantungkan diri pada manusia seringkali menimbulkan rasa haus yang tak pernah hilang. Seperti minum dari cawan retak, semakin kita meneguk, semakin kosong yang terasa. Ibn Hibbatillah al-Makkī mengingatkan dengan tajam:
«الْمَخْلُوقُ لَا يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا، فَكَيْفَ يَمْلِكُهُ لِغَيْرِهِ؟»
“Makhluk tidak memiliki mudarat dan manfaat bagi dirinya sendiri, maka bagaimana ia bisa memilikinya untuk orang lain?” (al-Tawbīkh).
Di jalanan kota, kita sering mendengar keluhan: “Aku sudah titip banyak pada orang ini, tapi tak juga dibalas.” Hati yang bergantung pada manusia akan selalu kecewa. Seorang teman menegur,
“Mengapa engkau terlalu berharap pada manusia?”
Ia menjawab lirih, “Karena aku lupa, hanya Allah yang tak pernah mengecewakan.”
Menemukan Cahaya dalam Keterlepasan
Seperti burung yang akhirnya tahu bahwa ia bisa terbang tanpa sangkar, jiwa manusia akan menemukan kebebasan ketika melepaskan diri dari belenggu ketergantungan pada makhluk. Ibn Hibbatillah al-Makkī kembali menulis:
«الطُّمَأْنِينَةُ فِي التَّوَكُّلِ، وَالْوَهْمُ فِي التَّعَلُّقِ بِالْخَلْقِ»
“Ketenangan ada dalam tawakal, dan ilusi ada dalam bergantung pada makhluk.”
Dalam dunia modern, riset psikologi positif menemukan bahwa orang yang memiliki keyakinan spiritual dan tawakal lebih mampu menghadapi stres dibanding mereka yang hanya mengandalkan relasi sosial semata. Tawakal memberi ruang bagi jiwa untuk berdamai, bahkan ketika manusia di sekelilingnya berbalik meninggalkan.
Tanyakan pada hati: Apakah aku lebih percaya pada manusia daripada pada Allah?
Lihat langkahmu: Apakah setiap usaha disertai doa, atau hanya kepanikan mencari pertolongan manusia?
Rasakan tenangmu: Apakah hatimu bergantung pada cawan retak, atau pada sumber air yang tak pernah kering?
Langkah Praktis
- Perbanyak doa sebelum meminta pada manusia. Jadikan Allah tujuan pertama, bukan pilihan terakhir.
- Bangun etos kerja jujur. Rezeki bukan hadiah dari atasan, melainkan amanah dari Tuhan.
- Latih hati untuk syukur. Dengan syukur, kita sadar bahwa apa yang ada sudah lebih dari cukup.
- Perkuat silaturahmi tanpa pamrih. Hubungan dengan manusia adalah sarana, bukan tujuan.
Menutup Pintu Cawan yang Retak
Hidup yang terlalu bergantung pada makhluk hanyalah perjalanan panjang menuju kecewa. Sebaliknya, hidup yang bergantung pada Allah ibarat meneguk air jernih dari sumber yang tak pernah kering.
Mari kita berdoa:
“Ya Allah, lepaskan hati kami dari cawan yang retak. Jadikan kami orang yang hanya bergantung pada-Mu, dan temukan ketenangan dalam tawakal. Jangan biarkan kami tertipu oleh ilusi makhluk, tapi tuntun kami pada cahaya-Mu yang abadi.”
Apakah kita siap berhenti meneguk dari cawan yang retak, dan mulai minum dari sumber kehidupan sejati?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
