Opinion
Beranda » Berita » Ibadah Tanpa Khusyuk: Gerak Tubuh yang Kehilangan Nyawa

Ibadah Tanpa Khusyuk: Gerak Tubuh yang Kehilangan Nyawa

Ilustrasi shalat tanpa ruh, simbol ibadah tanpa khusyuk
Ilustrasi seseorang shalat, tubuhnya nyata tetapi bayangan bercahaya samar, simbol ibadah tanpa khusyuk.

Ibadah tanpa khusyuk sering kali hanya meninggalkan jejak gerak tubuh tanpa ruh. Ia bagaikan pohon kering yang tegak, namun tidak memberi keteduhan. Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī dalam al-Tawbīkh mengibaratkan ibadah tanpa hati sebagai rumah megah tanpa penghuni: indah dipandang, tetapi kosong.

Di negeri ini, kita sering melihat fenomena itu. Masjid ramai oleh shalat berjamaah, namun selepas salam, lidah masih mudah menghardik. Al-Qur’an dibaca merdu, tetapi di pasar, timbangan masih curang. Ritual berjalan, tetapi ruhnya tertinggal.

Tubuh yang Bergerak, Jiwa yang Lelah

Imam al-Makkī menulis:

الصَّلَاةُ بِغَيْرِ حُضُورِ الْقَلْبِ كَالْجَسَدِ بِغَيْرِ رُوحٍ
“Shalat tanpa kehadiran hati bagaikan jasad tanpa ruh.”

Kata-kata itu menusuk. Betapa sering kita membiarkan pikiran melayang ketika berdiri di hadapan Allah. Khusyuk bukan sekadar diam dan tenang, melainkan hadirnya hati yang merasa diawasi oleh Sang Maha Melihat.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Seorang sahabat pernah bertanya kepada gurunya:
“Mengapa shalatku terasa hampa?”
“Karena engkau lebih mendengar suara pasar daripada suara hatimu.”

Di tengah bising kota Indonesia, manusia dipaksa cepat. Ibadah pun terkadang ikut terburu-buru, seperti seorang pekerja yang mengejar jam absensi. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ (رواه أبو داود)
“Sesungguhnya seseorang selesai shalat, namun tidak ditulis baginya kecuali sepersepuluh dari shalatnya.”

Artinya, tanpa khusyuk, pahala ibadah bisa terkikis hingga hanya tersisa serpihan kecil.

Imam al-Makkī kembali menegur:

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

الْعِبَادَةُ بِغَيْرِ خُشُوعٍ تَعَبٌ بِغَيْرِ ثَمَرٍ
“Ibadah tanpa khusyuk adalah lelah tanpa buah.”

Pernahkah kita merasa habis beribadah, namun hati tetap gelisah? Seperti orang yang haus, minum segelas air asin, semakin diteguk semakin perih. Itu karena ibadah telah kehilangan nyawanya: khusyuk.

Riset dalam psikologi agama (Koenig, 2012) menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukan dengan kesadaran penuh (mindfulness) meningkatkan ketenangan jiwa dan menurunkan tingkat stres. Sebaliknya, ritual yang hanya fisik tanpa kehadiran mental tidak membawa perubahan signifikan bagi kesehatan batin.

Cahaya yang Menyentuh Tanah

Al-Qur’an menegaskan makna khusyuk dalam ibadah:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (المؤمنون: 1–2)
“Sungguh beruntung orang-orang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalatnya.”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Ayat ini tidak sekadar perintah, melainkan janji kebahagiaan. Khusyuk menjadikan ibadah bukan sekadar gerakan, tapi cahaya yang menyentuh tanah kehidupan sehari-hari.

Ibadah tanpa khusyuk bagaikan kapal tanpa arah.
Khusyuk bukan menundukkan kepala, tapi merendahkan hati.
Jika ruh hadir, gerakan kecil pun menjadi ibadah besar.

Langkah Praktis

  1. Persiapkan hati sebelum tubuh: duduk sejenak sebelum shalat, tarik napas, hadirkan kesadaran.
  2. Pahami bacaan: renungkan makna Al-Fātiḥah dan tasbih dalam shalat.
  3. Kurangi distraksi: pilih waktu shalat di luar riuh pekerjaan bila memungkinkan.
  4. Lakukan amal tersembunyi: ibadah rahasia menumbuhkan rasa kedekatan yang lebih jernih.

Imam al-Makkī menulis lagi:

مَنْ لَمْ يَذُقْ طَعْمَ الْخُشُوعِ لَمْ يَذُقْ طَعْمَ الْعِبَادَةِ
“Barangsiapa tidak merasakan nikmat khusyuk, ia tidak merasakan nikmat ibadah.”

Inilah inti dari teguran beliau: jangan biarkan ibadah kita menjadi jasad yang kehilangan ruh.

Ibadah tanpa khusyuk hanyalah gerak tubuh yang kehilangan nyawa. Ia menipu mata, seakan hidup, padahal mati. Namun saat hati benar-benar hadir, ibadah menjelma cahaya yang menenangkan, memberi makna pada hidup, dan menjadi bekal di akhirat.

Mari kita berdoa: Ya Allah, hadirkan hati kami dalam setiap sujud, hidupkan ruh ibadah kami, dan jauhkan dari hampa ritual yang kosong.

Apakah kita siap menghidupkan kembali ruh ibadah, agar setiap gerak menjadi nyawa yang menyinari jiwa?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement