Opinion
Beranda » Berita » Menuntut Ilmu dengan Berkah: Refleksi atas Kiat Ulama Yaman

Menuntut Ilmu dengan Berkah: Refleksi atas Kiat Ulama Yaman

Gambar Seseorang Sedang Mengaji
Gambar Seseorang Sedang Mengaji

SURAU.CO – Menuntut ilmu dalam tradisi Islam tidak sekedar memperbanyak pengetahuan atau menguasai tumpukan kitab. Lebih dari itu, seorang muslim memandang ilmu sebagai cahaya yang menuntun hidupnya menuju keberkahan, kebahagiaan, dan pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu, banyak ulama klasik maupun kontemporer menekankan agar setiap orang mengamalkan ilmu, memperkuat iman, dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya.

Di tengah derasnya arus modernitas, banyak orang terjebak pada anggapan bahwa keberhasilan menuntut ilmu hanya terletak pada nilai akademik, gelar, atau prestasi lahiriah. Padahal, ulama dari berbagai generasi, termasuk Habib Abdullah bin Abdurrahman Al-Mauhdhar, Guru Besar Rubath Tarim Yaman, justru menekankan dimensi batiniah dalam belajar. Habib Abdullah menjelaskan empat kiat penting yang patut kita renungkan: manajemen waktu, mengamalkan ilmu, meningkatkan kualitas iman, dan bersungguh-sungguh.

Menurut saya, empat poin ini tidak hanya relevan bagi santri atau pelajar ilmu agama, tetapi juga penting bagi siapa pun yang sedang menempuh perjalanan belajar, baik formal maupun non-formal. Saya ingin menyoroti bagaimana keempat point itu bisa kita maknai ulang dalam konteks kehidupan kekinian.

1. Manajemen Waktu: Disiplin yang Menghidupkan Ilmu

Imam Syafii pernah mengingatkan, “Waktu itu bagaikan pedang, jika kamu tidak menggunakannya dengan baik, dia akan memotongmu.” Kalimat ini sederhana, tetapi menyimpan kearifan yang mendalam. Habib Abdullah menegaskan bahwa belajar yang produktif tidak berarti menghabiskan seluruh waktu hanya untuk membaca atau menghafal. Ia menekankan pentingnya pembagian waktu yang jelas dan seimbang: kapan belajar, kapan beribadah, dan kapan istirahat.

Saya melihat poin ini sangat penting di era digital sekarang. Banyak pelajar tenggelam dalam distraksi media sosial, tontonan hiburan, atau aktivitas yang menyita waktu tanpa arah. Akibatnya, mereka tidak fokus dalam belajar, sehingga hasilnya tidak maksimal.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Pesan Habib Abdullah terasa relevan di sini: menuntut ilmu menuntut kita disiplin dalam mengelola waktu. Kita harus cerdas memilih prioritas. Ulama salaf memberi teladan dengan memanfaatkan setiap detik hidupnya untuk membaca, menulis, atau berpikir. Namun, mereka tetap beristirahat dan tahu menempatkan waktu sesuai porsinya.

Generasi sekarang perlu berani menetapkan jadwal belajar yang konsisten, mengurangi kebiasaan menunda, dan menata kegiatan agar selaras dengan tujuan jangka panjang. Jika kita melakukannya, maka ilmu tidak hanya tersimpan di kepala, tetapi juga menumbuhkan keteraturan dalam hidup.

2. Mengamalkan Ilmu: Dari Teori ke Aksi

Hadis Nabi yang dikutip Habib Abdullah begitu menohok:

مَن عَمِلَ بِمَا عَلِمَ أَوْرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Barangsiapa yang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah akan menganugerahkan dirinya ilmu yang belum ia ketahui sebelumnya.” Pesan ini menegaskan bahwa keberhasilan seseorang dalam proses belajar bukan diukur dari sebanyak apa pengetahuan yang diperoleh, melainkan sejauhmana ia mampu mengamalkan setiap ilmu yang didapatnya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Saya sering melihat fenomena ketika orang merasa bangga dengan pengetahuannya, tetapi tidak mengamalkannya. Ilmunya berhenti pada wacana, tidak sampai pada tindakan. Padahal, ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tidak berbuah.

Habib Abdullah menyampaikan tentang ilham yang Allah berikan kepada orang yang mengamalkan ilmunya. Ketika kita konsisten menjalankan ilmu yang kita ketahui, Allah membukakan pintu pengetahuan baru yang tidak pernah kita sangka. Itulah keberkahan ilmu yang tidak bisa kita ukur dengan logika semata.

3. Iman yang Bertambah: Tolok Ukur Ilmu yang Hidup

Habib Abdullah menegaskan bahwa pencari ilmu sejati adalah mereka yang semakin kuat imannya seiring bertambahnya pengetahuan. Sebaliknya, jika ilmu membuat seseorang jauh dari Allah, itu menunjukkan kegagalan dalam belajar.

Pernyataan ini sangat relevan. Saya melihat orang yang merasa semakin pintar, namun justru kehilangan kerendahan hati. Pengetahuan yang seharusnya mendekatkan dirinya pada Sang Pencipta malah menumbuhkan rasa bangga.

Ilmu agama seharusnya menumbuhkan rasa takut, cinta, dan taat kepada Allah. Habib Abdullah pentingnya pentingnya muraqabah —perasaan selalu membela Allah—sebagai cara menjaga kualitas iman.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

4. Bersungguh-sungguh: Energi yang Menentukan Hasil

Kesungguhan menjadi bahan bakar dalam menuntut ilmu. Habib Abdullah mengutip Imam Abu Hatim ar-Razi:

اكتب أحسن ما تسمع، واحفظ أحسن ما تكتب، وذاكر بأحسن ما تحفظ

Artinya: “Katatlah pelajaran dengan lebih baik melebihi dari hasil yang kau dengar dari guru, hafalkanlah dengan lebih baik melebihi apa yang telah kau tulis, dan ketulusan (jika sedang dibutuhkan) pelajaran-pelajaran itu lebih baik melebihi apa yang telah kau hafal.”

Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya totalitas dalam belajar. Kita tidak cukup hanya mendengar, tetapi harus mencatat dan juga harus menghafal. Semua itu menuntut kesungguhan dan disiplin.

Kesungguhan berarti kita menahan diri dari rasa malas, mengendalikan hawa nafsu, dan konsistensi meskipun hasil belum tampak segera. Kesuksesan dalam ilmu tidak datang seketika, melainkan lahir dari proses panjang yang penuh kesabaran.

Indikasi Kesuksesan Menuntut Ilmu

Habib Abdullah menutup nasehatnya dengan tiga indikator keberhasilan seorang yang menuntut ilmu: hatinya selalu bersinar, hidupnya bahagia, dan usianya ia berdedikasikan untuk kebaikan agama.

Saya melihat tolok ukur ini sangat berbeda dengan standar dunia modern. Dunia menilai sukses dari harta, jabatan, atau popularitas. Sementara ulama menilai kesuksesan dari cahaya hati, ketenangan batin, dan pengabdian.

Refleksi ini menegaskan bahwa kita tidak boleh menjadikan ilmu sekadar alat mencari penghidupan. Kita harus menjadikannya jalan menuju kehidupan penuh makna. Di tengah dunia yang serba cepat dan materialistis, pesan ulama Yaman ini mengajak kita kembali ke esensi: belajar bukan untuk dunia semata, tetapi untuk keberkahan hidup dan keridhaan Allah

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement