Opinion
Beranda » Berita » Harta yang Kau Peluk, Batu yang Menenggelamkan Kapalmu

Harta yang Kau Peluk, Batu yang Menenggelamkan Kapalmu

Manusia memeluk emas di tengah laut, tenggelam karena cinta harta.
Ilustrasi metaforis manusia yang memeluk harta, padahal harta itu menjadi beban yang menenggelamkan hidupnya.

Harta sering kita anggap sebagai penyelamat, padahal ia bisa menjadi batu besar yang menenggelamkan kapal kehidupan. Dalam kitab al-Tawbīkh, Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī menegur manusia yang terlalu menggenggam harta, seolah kekayaan bisa memberi perlindungan abadi. Beliau menulis:

“مَنْ جَمَعَ الْمَالَ لِنَفْسِهِ هَلَكَ وَمَنْ جَمَعَهُ لِلَّهِ نَجَا”
“Barang siapa mengumpulkan harta untuk dirinya, ia akan binasa. Barang siapa mengumpulkannya untuk Allah, ia akan selamat.”

Kalimat ini bukan sekadar peringatan, tetapi cermin yang memantulkan wajah kita yang terkadang lebih takut kehilangan saldo rekening daripada kehilangan shalat.

Pasar yang Riuh, Hati yang Sepi

Di pasar-pasar besar Jakarta, di pinggir jalan Surabaya, di gang-gang sempit Medan, kita bisa melihat wajah-wajah yang lelah mengejar rezeki. Ada yang memikul beras, ada yang menjual gorengan hingga larut malam. Namun tidak jarang, kelelahan itu berubah menjadi keserakahan: selalu ingin lebih, selalu merasa kurang.

Imam Ibn Ḥibbatillāh menulis:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“الْمَالُ يُفْسِدُ الْقَلْبَ إِذَا كَانَ هُوَ الْمَقْصُودَ”
“Harta merusak hati apabila ia menjadi tujuan utama.”

Hati yang rusak oleh harta tidak lagi mengenal tenang. Ia berdenyut bersama angka-angka, bukan bersama nama Allah.

Peringatan dari Al-Qur’an

Allah ﷻ berfirman:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا (الكهف: 46)
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal-amal saleh yang kekal lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Ayat ini tidak menolak harta, tapi menempatkannya di tempat yang benar: sebagai perhiasan, bukan sebagai tuhan baru.

Kawan A: “Kalau aku kaya, aku akan bahagia.”

Kawan B: “Tapi aku lihat orang kaya justru sering gelisah.”

Kawan A: “Mungkin mereka kurang kaya.”

Kawan B: “Atau mungkin mereka kurang Allah.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Dialog ini sederhana, tapi menusuk.

Harta sebagai Batu di Leher

Imam Ibn Ḥibbatillāh mengingatkan:

“مَنْ بَخِلَ بِمَالِهِ لَمْ يَنْتَفِعْ بِهِ وَأُخِذَ مِنْهُ”
“Siapa yang kikir dengan hartanya, ia tidak akan mendapat manfaat darinya, dan harta itu akan diambil darinya.”

Dan juga:

“حُبُّ الْمَالِ يَجْعَلُ الْعَبْدَ عَبْدًا لِلْمَالِ”
“Cinta harta menjadikan seorang hamba, hamba bagi harta itu sendiri.”

Seperti batu yang dipeluk erat di tengah laut, ia tidak membuatmu terapung, melainkan menenggelamkanmu perlahan.

Ilmu Modern tentang Keserakahan

Riset psikologi modern menunjukkan, orang yang mengejar kekayaan demi status sosial justru cenderung mengalami stres tinggi dan kepuasan hidup rendah (Kasser, The High Price of Materialism, 2002). Ilmu pengetahuan seolah membenarkan sabda para ulama: harta yang dipeluk terlalu erat justru mengubur ketenangan.

Langkah Praktis Membebaskan Hati dari Batu

  1. Zakat dan sedekah: Menyalurkan harta agar tidak membusuk di dalam hati.
  2. Mengingat mati: Tidak ada harta yang ikut masuk ke liang kubur, kecuali amal.
  3. Membiasakan qana‘ah: Merasa cukup lebih berharga daripada memiliki segunung emas.
  4. Menolong sesama: Harta menjadi ringan ketika dipakai menolong, bukan ketika disimpan.
  5. Membaca doa Nabi ﷺ:

“اللَّهُمَّ اجْعَلِ الدُّنْيَا فِي أَيْدِينَا وَلَا تَجْعَلْهَا فِي قُلُوبِنَا”
“Ya Allah, jadikan dunia di tangan kami, jangan Engkau jadikan ia di hati kami.”

Harta bagaikan api: jika kau letakkan di tungku, ia menghangatkan. Jika kau peluk di dada, ia membakar habis tubuhmu.

Doa agar Tidak Tenggelam

Ya Allah, jadikan harta yang Kau titipkan sebagai jalan mendekat kepada-Mu, bukan batu yang menenggelamkan kapal hidup kami. Jangan biarkan kami mencintai harta lebih dari-Mu, karena tanpa-Mu kami hanyalah perahu kosong di tengah samudera.

Apakah kita siap meletakkan harta sebagai alat, bukan tujuan? Atau kita masih ingin memeluk batu itu, meski tahu ia bisa menenggelamkan kita?

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement