Cinta dunia adalah penyakit hati yang sering kali tersembunyi di balik kilau kehidupan. Dalam kitab al-Tawbīkh, Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī menegur manusia yang terlalu terpikat pada dunia, seakan dunia adalah tujuan, padahal ia hanya jalan singkat. Dunia digambarkan bagaikan rantai emas: berkilau di mata, tetapi menjerat kaki hingga sulit melangkah menuju cahaya.
Beliau menulis:
“حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ”
“Cinta dunia adalah pangkal dari setiap kesalahan.”
Kalimat ini seakan menjadi cermin yang retak, memperlihatkan wajah kita yang sering tersenyum pada dunia, namun lupa bahwa senyumnya bisa berubah menjadi belenggu.
Di jalan-jalan Jakarta, Surabaya, Medan—orang berlomba mengejar materi, bekerja siang malam demi membeli rumah, mobil, atau sekadar gengsi sosial. Di warung kopi, obrolan sering lebih banyak tentang investasi, gaji, dan gadget terbaru ketimbang tentang kebahagiaan batin. Dunia terasa begitu mendesak, menuntut kita untuk selalu mengejar.
Namun Imam Ibn Ḥibbatillāh mengingatkan:
“مَنْ أَكْثَرَ ذِكْرَ الدُّنْيَا قَسَا قَلْبُهُ”
“Siapa yang terlalu banyak menyebut dunia, hatinya akan menjadi keras.”
Hati yang keras bukanlah hati yang bisa menangis dalam doa. Ia kering, retak, dan tak mampu merasakan kelembutan kasih Allah.
Cahaya Al-Qur’an yang Mengingatkan
Al-Qur’an berulang kali memperingatkan kita agar tidak terbuai:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ (الحديد: 20)
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling bermegah-megahan di antara kamu, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan.”
Ayat ini tidak melarang kita bekerja atau memiliki harta, tetapi mengingatkan agar hati tidak ditawan oleh rantai emas itu.
Pemuda: “Aku ingin sukses, agar dihormati.”
Orang Tua: “Sukses sejati bukan ketika orang menghormatimu, tapi ketika hatimu tunduk pada Allah.”
Pemuda: “Tapi dunia ini keras.”
Orang Tua: “Lebih keras lagi hati yang diperbudak dunia.”
Dialog sederhana ini kerap kita dengar dalam kehidupan nyata.
Rantai yang Membuat Lupa
Imam Ibn Ḥibbatillāh menulis:
“مَنْ غَرَّتْهُ الدُّنْيَا فَقَدْ خَسِرَ الْأُخْرَى”
“Siapa yang tertipu dunia, maka ia telah merugi di akhirat.”
Dan juga:
“حُبُّ الدُّنْيَا يُعْمِي الْقَلْبَ عَنِ الْحَقِّ”
“Cinta dunia membutakan hati dari kebenaran.”
Rantai emas itu memang indah, tapi berat dipikul. Ia membuat manusia silau hingga tak lagi mampu menatap keabadian.
Penelitian psikologi oleh Tim Kasser (2002) menunjukkan bahwa orang yang terobsesi pada materialisme cenderung memiliki tingkat depresi lebih tinggi dan kepuasan hidup lebih rendah. Bukankah ini selaras dengan peringatan ulama? Hati yang terbelenggu dunia akan merasakan kosong meski dikelilingi gemerlap.
Langkah Praktis Membebaskan Diri
- Perbanyak zikir: Mengingat Allah melembutkan hati yang keras.
- Bersedekah: Mengikat hati pada kebaikan, bukan pada harta.
- Hidup sederhana: Membiasakan diri dengan kecukupan, bukan kemewahan.
- Ingat mati: Dunia terasa kecil jika kita ingat liang lahat menunggu.
- Cari ilmu: Agar pandangan terhadap dunia tetap proporsional.
Dunia adalah air laut: semakin banyak diminum, semakin haus rasanya. Hanya dengan mencicipi air kasih Allah, dahaga benar-benar hilang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ”
“Bersikap zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu.” (HR. Ibn Mājah).
Semoga hati kita bebas dari rantai emas yang membebani langkah. Semoga kita belajar mencintai dunia secukupnya, agar cinta kita pada Allah tidak pernah berkurang.
Ya Allah, jangan biarkan dunia menjadi penjara bagi hati kami. Jadikanlah ia ladang amal, bukan rantai yang mengikat jiwa.
Apakah kita siap menjadikan dunia sebagai jembatan menuju Allah, bukan sebagai istana yang menjerat kita di tengah jalan?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
