Opinion
Beranda » Berita » Sombong, Burung dengan Sayap Patah yang Menolak Turun ke Bumi

Sombong, Burung dengan Sayap Patah yang Menolak Turun ke Bumi

burung bersayap patah melambangkan kesombongan
Seekor burung mencoba terbang di langit jingga, sayapnya patah. Di bawahnya cahaya bumi yang hangat, simbol tawadhu.

Kesombongan dalam Islam bukan sekadar perilaku, melainkan penyakit hati yang menggerogoti jiwa. Kitab al-Tawbīkh karya Imam Ibn Ḥibbatillāh al-Makkī menggambarkan sombong sebagai jerat halus yang menutup pintu rahmat. Di tengah kehidupan sosial kita di Indonesia, sifat sombong sering lahir tanpa disadari—di kantor, di jalan, bahkan di ruang keluarga. Orang merasa lebih mulia hanya karena pakaian, gelar, atau jabatan.

Imam Ibn Ḥibbatillāh berkata:

الكِبْرُ حِجَابٌ سَمِيكٌ بَيْنَ العَبْدِ وَرَحْمَةِ اللهِ
“Kesombongan adalah tabir tebal antara hamba dan rahmat Allah.”

Betapa rapuh manusia, namun tetap merasa kukuh seperti gunung. Padahal tanah yang kita pijak suatu saat akan menelan tubuh ini tanpa membedakan kaya atau miskin.

Suatu malam, saya berbincang dengan seorang sahabat di warung kopi. Ia berkata dengan nada getir:
“Kadang aku malu mengakui salah, seakan-akan harga diriku akan runtuh.”
Saya menimpali:
“Kesombongan itu seperti burung dengan sayap patah. Kau kira terbang, tapi sebenarnya jatuh perlahan.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Dialog sederhana itu membuka kesadaran. Kita sering mengira gengsi menjaga martabat, padahal justru meruntuhkannya.

Jejak Sombong dalam Wajah Sosial Kita

Di pasar, ada penjual yang memandang rendah pembeli kecil. Di ruang rapat, ada suara minoritas yang diabaikan. Dalam politik, kesombongan tampil sebagai sikap tak mau mendengar rakyat. Semua itu adalah wajah-wajah burung bersayap patah.

Imam Ibn Ḥibbatillāh menulis:

مَنْ تَعَظَّمَ عَلَى العِبَادِ، صَغَّرَهُ اللهُ فِي أَعْيُنِهِمْ
“Barangsiapa membesarkan diri di hadapan manusia, Allah akan merendahkannya di mata mereka.”

Kesombongan yang kita bangun justru meruntuhkan martabat. Seperti menara dari kaca, tinggi menjulang, namun mudah hancur diterpa angin.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Al-Qur’an mengingatkan dengan bahasa yang dalam:

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ (النحل: 23)
“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (QS. an-Naḥl: 23)

Ayat ini bukan sekadar larangan, tapi pengingat: sombong menjauhkan cinta Allah. Jika cinta Allah sirna, apa lagi yang tersisa?

Bahaya terbesar dari sombong adalah ketika hati menolak kebenaran. Imam Ibn Ḥibbatillāh mengingatkan:

المُتَكَبِّرُ لا يَرَى نَقْصَهُ، فَيَمُوتُ عَلَى غَفْلَتِهِ
“Orang yang sombong tidak melihat kekurangannya, hingga ia mati dalam kelalaiannya.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Hati yang keras seperti batu, sulit ditembus cahaya nasihat. Maka ia berjalan sendirian, padahal dirinya penuh luka.

Jalan Sunyi Kerendahan Hati

Di jalan sunyi malam, saya teringat nasihat ulama: tawadhu adalah tanah subur tempat iman tumbuh. Imam Ibn Ḥibbatillāh berkata:

التَّوَاضُعُ رَفْعَةٌ عِنْدَ اللهِ وَالنَّاسِ
“Kerendahan hati adalah kemuliaan di sisi Allah dan manusia.”

Kerendahan hati bukan merendahkan diri, melainkan menyadari bahwa setiap jiwa diciptakan dengan nilai mulia.

Kesombongan menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.

Tawadhu justru mengangkat martabat di mata Allah.

Hidup ini singkat; mengapa berdiri di atas menara rapuh bernama ego?

Langkah Praktis Melembutkan Hati

Dzikir sebelum tidur – mengingat kelemahan diri di hadapan Allah.

Minta maaf tanpa menunggu – melatih jiwa agar lebih ringan.

Sedekah diam-diam – mengikis keinginan pamer.

Belajar dari siapa pun – anak kecil sekalipun bisa jadi guru kehidupan.

Riset psikologi modern (Dunning-Kruger Effect) menunjukkan bahwa orang yang terlalu percaya diri pada kemampuannya cenderung salah menilai. Sebaliknya, kerendahan hati membuka ruang belajar tiada henti.

Ya Allah, singkirkan kesombongan dari hati kami, karena ia hanyalah burung bersayap patah. Ajari kami tawadhu, agar langkah ringan, wajah teduh, dan jiwa selamat.
Maukah kita menukar sayap patah dengan cahaya kerendahan hati?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement