SURAU.CO – Sejarah Islam tidak hanya mencatat kisah para nabi dan para sahabat, tetapi juga hewan-hewan yang setia mendampingi tokoh-tokoh mulia. Salah satunya adalah Dzuljannah, kuda kesayangan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Rasulullah Muhammad SAW sendiri yang menghadiahkan kuda ini kepada cucunya untuk menemaninya di Karbala. Kisah kuda ini mengharukan karena menunjukkan bagaimana hewan pun mampu menjadi saksi sekaligus bagian dari perjuangan besar dalam menegakkan kebenaran.
Dzuljannah mendampingi cucu Rasulullah SAW dalam perjalanan panjang hingga peristiwa tragis di Karbala. Namanya tercantum dalam riwayat-riwayat sejarah, terutama ketika menceritakan keberanian dan pengorbanan Sayyidina Husain. Kisah Dzuljannah mengajarkan tentang kesetiaan, cinta, dan keberanian yang tidak lekang oleh waktu.
Asal-usul Dzuljannah
Riwayat menyebutkan bahwa Dzuljannah adalah kuda putih yang gagah dan kuat. yang dimiliki oleh seorang Arab, bernama Haris. Nama asli kuda ini adalah Murtajiz atau Maimun. Dinamakan Dzuljannah karena suara ringkikannya merdu, nyaring, dan melengking.
Dzuljannah memiliki langkah cepat dan stamina yang kuat. Nama Dzuljannah berarti “yang memiliki sayap.” Sebutan ini lahir karena kuda itu mampu berlari secepat angin, seolah-olah akan terbang di atas tanah. Nama itu juga menggambarkan keistimewaan kuda ini, berbeda dari kuda-kuda pada umumnya.
Suatu ketika Husain yang masih kecil pergi ke kandang Dzuljannah dan memperhatikannya dengan seksama.
Melihat cucunya terpikat pada kuda itu, Nabi Muhammad SAW tersenyum dan bertanya,
“Husein-ku sayang, apakah kamu ingin menaiki kuda itu?”
Husain menjawab, “Ya Kakek, aku mau.”
Nabi Muhammad SAW kemudian meminta agar memberi pelana pada kuda itu. Begitu Husain mendekat, Dzuljannah merunduk seolah duduk di tanah agar Husain kecil mudah menungganginya. Nabi SAW akhirnya membeli kuda itu dari Haris untuk cucu kesayangannya.
Para sahabat yang hadir menyaksikan kejadian tersebut bergembira. Mereka melihat Husain kecil menunggangi Dzuljannah, sementara kuda itu menatap penunggangnya dengan penuh perhatian.
Kuda Kesayangan yang Setia
Sayyidina Husain selalu menunjukkan kasih sayang kepada Dzuljannah. Beliau merawat Dzuljannah dengan penuh cinta. Kuda itu merespons dengan ketaatan dan ramah kepada Sayyidina Husain. Banyak riwayat menyatakan bahwa Dzuljannah menolak orang lain yang mencoba menungganginya. Hal ini menunjukkan ikatan batin antara keduanya begitu kuat dan tulus.
Husain menunggangi Dzuljannah dalam banyak perjalanan dakwah maupun peperangan. Kuda ini selalu menyertainya, baik ketika suasana damai maupun saat pertempuran sengit. Kesetiaan Dzuljannah menjadikannya bukan sekadar hewan tunggangan, tetapi bagian penting dalam kehidupan cucu Rasulullah.
Peran Dzuljannah di Karbala
Kisah paling masyhur tentang Dzuljannah yang terjadi pada peristiwa Karbala tahun 61 Hijriah. Saat itu, Husain bersama keluarganya dan sahabat setianya menghadapi pasukan besar yang dipimpin utusan Yazid bin Muawiyah. Jumlah pasukan Husain sangat sedikit, sedangkan lawan jumlahnya jauh lebih banyak.
Pada hari Asyura, Husain menunggangi Dzuljannah dengan gagah. Kuda itu berlari di tengah medan perang dengan penuh keberanian. Husain berjuang dengan semangat luar biasa, sementara Dzuljannah mengikutinya tanpa gentar. Meski medan dipenuhi darah dan teriakan, kuda itu tetap tegak mendampingi sayyidina Husein.
Ketika musuhnya menyakiti Husain hingga terluka parah, Dzuljannah menampakkan kesedihan yang dalam. Riwayat menyebut bahwa tubuh Husain akhirnya jatuh dari punggung. Saat itu, Dzuljannah menundukkan kepala dan air matanya menetes, lalu ia berlari menuju kemah keluarga Husain dengan pelana kosong. Gerakannya seolah memberi kabar duka kepada mereka.
Adegan ini menjadi bagian paling buruk dan menyakitkan dalam sejarah Karbala. Dzuljannah tampak enggan berpisah dengan Sayyidina Husain. Setelah tragedi itu, kuda itu menghilang.
Pelajaran dari Kisah Dzuljannah
Dzuljannah bukan sekedar kuda dalam catatan sejarah. Ia hadir sebagai simbol kesetiaan yang mendampingi Sayyidina Husain hingga hembusan napas terakhirnya. Kisah ini menggemparkan hati, mengingatkan bahwa kesetiaan sejati tidak mengenal batas.
Melalui Dzuljannah, kita belajar bahwa cinta, kesetiaan, dan pengorbanan tetap abadi. Jika seekor kuda saja mampu menunjukkan kesetiaan yang luar biasa, maka manusia seharusnya lebih mampu menjaga janji, menepati amanah, dan setia dalam perjuangan.
Top of Form
Bottom of Form
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
