SURAU.CO – Setiap insan pasti mengalami tantangan. Hidup Nabi Muhammad SAW penuh dengan cobaan. Dari kehilangan orang tua hingga ancaman fisik. Namun, bahaya terbesar bagi beliau bukanlah itu semua. Sebuah kisah menarik dari Aisyah RA mengungkapkannya. Mari kita selami pelajaran berharga ini.
Pertanyaan Aisyah: Lebih Berat dari Perang Uhud?
Suatu hari, Aisyah, istri Rasulullah, bertanya kepada beliau, “Apakah engkau pernah menghadapi bahaya yang lebih besar selama hidupmu dari bahaya yang engkau hadapi dalam perang Uhud?” Pertanyaan ini sangat mendalam. Perang Uhud adalah momen krusial. Umat Islam menghadapi kekalahan pahit. Banyak sahabat gugur dalam pertempuran itu. Bahkan Nabi sendiri terluka parah.
Namun, jawaban Rasulullah mengejutkan. “Ya,” jawab beliau singkat. Jawaban ini membuka misteri baru. Bahaya apakah yang melebihi Uhud? Ini mengundang rasa penasaran kita.
Cobaan Terus Menerus Sejak Dini
Nabi Muhammad SAW telah menghadapi banyak kesulitan. Beliau kehilangan ayahnya sebelum lahir. Abdullah wafat saat beliau masih dalam kandungan. Ibunya, Aminah, meninggal dunia. Nabi baru berusia enam tahun kala itu. Beliau hidup sebagai yatim piatu yang harus berjuang sendirian. Beliau tumbuh tanpa harta benda.
Namun, beliau tidak menyebutnya sebagai musibah terbesar. Banyak orang akan menganggapnya demikian. Tetapi bagi Nabi, ada hal yang lebih besar.
Pada masa-masa awal dakwah Islam, para pembesar Quraisy memusuhi beliau. Permusuhan mereka semakin hari semakin menjadi. Mereka mendekati Abu Thalib. Abu Thalib adalah pelindung Nabi satu-satunya saat itu. Mereka meminta Abu Thalib menarik dukungannya. Mereka ingin Nabi menyerah. Abu Thalib hampir mengabulkan permintaan mereka. Beliau hampir saja menyerahkan Nabi kepada musuh bebuyutannya.
Keadaan sangat genting waktu itu. Nyawa Nabi terancam. Namun, Rasulullah tidak menyebut ini sebagai bahaya terbesar. Beliau tetap teguh dalam berdakwah. Beliau tidak pernah menyerah.
Tahun-tahun berikutnya semakin berat. Upaya penekanan terus dilakukan. Nabi dan keluarganya diembargo. Mereka hampir mati kelaparan. Kondisi ini sangat menyiksa.
Ancaman fisik juga terus datang. Bongkahan batu besar ditimpakan kepada beliau. Batu itu berasal dari atas puncak bukit. Tendanya dibakar saat ia tertidur. Racun mematikan ditaruh dalam makanannya. Dalam semua percobaan pembunuhan itu, Rasulullah berhasil selamat. Beliau selamat walau dengan perjuangan berat.
Tetapi beliau tidak pernah menyatakan itu semua sebagai bahaya terbesar. Beliau tetap fokus pada risalahnya.
Peristiwa Thaif: Titik Balik Sejati
Sebaliknya, menjawab keingintahuan Aisyah, beliau akhirnya mengungkapkan. “Pada masa-masa awal aku menyerukan Islam,” kata beliau. “Aku menghadapi tantangan hebat dari penduduk Mekah.” Ini adalah fakta yang sudah diketahui.
Oleh karena itu, beliau mencari tempat lain. “Aku berusaha mengajak para pembesar Bani Thaif,” lanjut beliau. “Aku meminta izin untuk berdakwah di sana.” Thaif adalah kota penting dekat Mekah. Beliau berharap menemukan dukungan di sana.
Namun, harapannya pupus. “Aku diberi izin oleh salah seorang pembesar suku,” kata Nabi. “Namun secara diam-diam ia menghasut sejumlah penjahat untuk menyerangku.” Ini adalah pengkhianatan keji. “Sehingga segera setelah aku memulai seruanku mereka menyerangku.” Nabi diserang secara brutal. “Aku mengalami luka di sekujur tubuhku,” kenang beliau. “Dan tak sadarkan diri.” Ini adalah momen yang sangat menyakitkan.
Seorang sahabat menggendong beliau. Mereka mencari tempat aman. “Salah seorang sahabatku menggendongku ke sebuah tempat,” ujar Nabi. “Agak jauh dari Thaif.” Mereka menemukan perlindungan. “Ia meletakkanku di bawah lindungan sebuah pohon.” Sahabat itu lalu pergi mencari bantuan. “Sementara itu sahabatku pergi ke desa untuk meminta air.” Namun, mereka menghadapi penolakan. “Tetapi mereka semua menolak permintaannya.” Masyarakat Thaif menolak membantu. “Dia pun kembali dengan penuh kekecewaan.”
Doa Nabi dan Kedatangan Jibril
Pada saat itu, kesadaran Nabi pulih. “Pada saat itu kesadaranku pulih kembali,” kata Nabi. Beliau mengangkat kedua tangannya. Beliau memanjatkan doa tulus. “Aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa,” ujarnya. “Ya Allah Yang Maha Kuasa! Adalah karena risalah-Mu yang Engkau perintahkan aku untuk menyampaikannya kepada manusia. Tetapi mereka tidak mau mendengarkan aku. Mungkin itu semua karena kesalahan dan kelemahanku. Ya Allah yang Pengasih! Berilah hamba keteguhan dalam hati hamba dan kekuatan dalam lisan hamba!” Doa ini menunjukkan kerendahan hati beliau.
Kemudian, sebuah pemandangan luar biasa terjadi. “Pada saat itu juga aku melihat Jibril,” ungkap Nabi. Jibril menutupi cakrawala. Malaikat agung itu siap beraksi. Jibril menunggu perintah Nabi. Ia bisa mengubah Bani Thaif menjadi puing-puing. Kehancuran massal ada di ujung jari Nabi.
Namun, Nabi bereaksi berbeda. Beliau berteriak ketakutan. “Aku berteriak ketakutan,” kata Nabi. “Jangan sampai terjadi hal itu!” Ini adalah momen keagungan sejati. “Allah telah mengutusku ke dunia,” jelas Nabi. “Sebagai rahmat bagi semesta alam.” Beliau menolak pembalasan. “Aku tidak menghendaki kebinasaan atas mereka.” Beliau berharap mereka berubah. “Biarkan mereka hidup.” Beliau memiliki harapan besar. “Bila mereka kini tidak bersedia menerima ajakanku,” ujar Nabi. “Siapa tahu anak cucu mereka akan menerimanya.” Ini adalah visi jangka panjang beliau.
Sebuah Pelajaran Tentang Kasih Sayang
“Kehancuran yang hampir menimpa Bani Thaif inilah bahaya terbesar dalam hidupku,” kata Rasulullah mengakhiri cerita beliau.
Mengapa ini menjadi bahaya terbesar? Karena itu adalah ujian terbesar bagi kasih sayang beliau. Nabi bisa saja membalas dendam. Beliau memiliki kuasa untuk menghancurkan mereka. Tetapi beliau memilih rahmat. Beliau menunjukkan belas kasih universal. Beliau adalah rahmat bagi semesta alam. Kisah ini mengajarkan kita tentang kesabaran. Ini mengajarkan kita tentang pengampunan. Ini adalah contoh nyata kepemimpinan profetik. Semoga kita dapat meneladani akhlak mulia beliau.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
