Di jalan sunyi kehidupan, kita sering tertipu oleh gemerlap dunia. Kitab al-Tawbīkh karya Imam Ibn Hibbatillāh al-Makkī berulang kali mengingatkan: dunia hanyalah bayangan pasir yang tak pernah bisa kita genggam erat. Frasa kunci dunia hanyalah bayangan muncul dalam setiap perenungan beliau, seolah menjadi mantra agar manusia tak tenggelam dalam tipu daya fana.
Banyak orang mengejar dunia seolah ia rumah abadi. Padahal, ia sekadar persinggahan yang rapuh. Imam Ibn Hibbatillāh al-Makkī menulis:
الدنيا ظل زائل، من ركن إليها فقد ركن إلى العدم
Dunia itu bayangan yang akan sirna, barangsiapa bersandar kepadanya maka ia telah bersandar pada ketiadaan.
Kalimat ini mengguncang hati, seperti ombak yang menghantam karang. Lalu mengapa manusia tetap membangun istana di atas pasir yang mudah runtuh?
Jalan Pasir yang Selalu Menipu
Suatu sore di warung kopi pinggir jalan, seorang kawan bercerita lirih:
“Semua target sudah kukejar, motor baru, rumah lunas, tabungan ada. Tapi mengapa kosongnya tetap ada?”
Aku hanya diam, menyesap kopi pahit, lalu teringat nasihat Imam al-Makkī:
من أحب الدنيا أورثته هموماً لا تنقضي
Siapa yang mencintai dunia, maka ia akan diwarisi kesedihan yang tak pernah berakhir.
Rasa kosong itu bukan kekurangan harta, melainkan hati yang terikat pada sesuatu yang fana. Realitas sosial di Indonesia pun serupa: banyak orang bekerja keras hingga lupa waktu, demi status atau sekadar gengsi. Namun, senyum di wajah seringkali tak seindah batin yang porak-poranda.
Dunia adalah cermin retak. Ia memantulkan, tapi tak pernah utuh. Imam Ibn Hibbatillāh al-Makkī berkata:
من طلب الدنيا بالحرام حرم الحلال
Barangsiapa mencari dunia dengan cara haram, maka ia akan kehilangan yang halal.
Betapa sering kita menyaksikan: korupsi di negeri ini, perebutan kursi jabatan, atau dagang dengan tipu daya. Semua demi bayangan yang pada akhirnya hanya menelan diri.
Seperti membangun istana di atas ombak, hasilnya hanyalah runtuh. Padahal, Al-Qur’an sudah berpesan:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (آل عمران: 185)
“Dan tidaklah kehidupan dunia melainkan kesenangan yang menipu.”
Langkah Praktis Menjaga Jiwa
Renungan Singkat:
Periksa setiap hari: apakah hatimu lebih gembira ketika mendapat pujian manusia, atau saat engkau berdoa dalam sepi?
Sisihkan waktu untuk amal yang tak terlihat orang lain.
Bacalah doa Nabi ﷺ:
اللَّهُمَّ لا تَجْعَلْ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia sebagai tujuan terbesar kami.
“Jika dunia ini indah, mengapa ia selalu meninggalkan luka?”
“Karena ia bukan rumahmu. Ia hanya jalan menuju rumah.”
Kesadaran yang Menyembuhkan
Imam Ibn Hibbatillāh al-Makkī mengingatkan:
الدنيا مزرعة الآخرة، من زرع فيها خيراً حصد هناك نعيماً
Dunia adalah ladang akhirat, siapa menanam kebaikan di dalamnya akan menuai kenikmatan di sana.
Kalimat ini memberi arah. Dunia memang rapuh, tapi bisa menjadi jembatan. Ia tak layak dipuja, tapi patut dijadikan sarana untuk mengabdi.
Seperti petani yang menanam padi, bukan untuk memuja lumpur, melainkan menyiapkan panen. Begitu pula manusia: menanam amal baik di dunia, agar kelak memanen kedamaian di akhirat.
Dunia hanyalah bayangan pasir. Ia bisa indah, tapi tak pernah abadi. Janganlah engkau mendirikan istana di atas ombak. Dirikanlah rumahmu di hati yang selalu terikat kepada Allah.
Ya Allah, jadikan dunia di tangan kami, bukan di hati kami. Bimbing kami menanam kebaikan di bumi, agar kelak panen rahmat-Mu di akhirat.
Dan kini, pertanyaan itu kembali pada kita: maukah engkau terus mengejar bayangan, atau mulai menanam cahaya?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
