Tawakkal dan rendah hati adalah dua kunci yang membuka pintu ketenangan batin. Dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian—harga beras naik, pekerjaan tak menentu, sakit datang tiba-tiba—kita belajar bahwa daya manusia terbatas. Namun, di balik keterbatasan itu, ada samudra luas bernama tawakkal dan sebuah tanah lapang bernama kerendahan hati.
Imam al-Ghazālī dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn menjelaskan bahwa tawakkal adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah setelah usaha dilakukan, sedangkan rendah hati adalah kesadaran bahwa kita hanyalah hamba kecil di hadapan-Nya. Dua sikap ini tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga menjadi obat sosial yang menyehatkan jiwa.
Hati yang Luruh, Jiwa yang Tenteram
Di sudut pasar kecil di Trenggalek, seorang pedagang sayur yang saya kenal selalu tersenyum meski dagangannya sering sisa. Ketika ditanya, ia menjawab:
“Rezeki itu bukan apa yang kita genggam, tapi apa yang Allah titipkan.”
Ketenangan wajahnya memantulkan makna tawakkal. Ia bekerja keras, berangkat dini hari, namun tidak pernah mengeluh tentang sisa dagangan. Inilah cermin kehidupan yang dikatakan al-Ghazālī:
التوكل أن تفوض أمرك إلى الله بعد استفراغ الوسع في الطلب
“Tawakkal adalah menyerahkan urusanmu kepada Allah setelah mengerahkan segala daya dalam usaha.”
Makna ini terasa sederhana, namun dalam praktiknya ia menjadi cahaya bagi hati yang sering gelisah oleh hasil.
Kelembutan yang Menundukkan Keangkuhan
Kerendahan hati tidak membuat seseorang kehilangan wibawa. Justru darinya lahir kekuatan batin. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Kerendahan hati bukan berarti menganggap diri hina, tetapi mengakui keterbatasan dan menghargai orang lain. Al-Ghazālī menulis:
التواضع أن لا ترى لنفسك فضلاً على غيرك
“Kerendahan hati adalah ketika engkau tidak melihat dirimu lebih utama dari orang lain.”
Di desa-desa Indonesia, kita masih sering melihat tradisi saling menunduk ketika bertegur sapa. Gerakan sederhana ini sebenarnya menyimpan ajaran spiritual: bahwa menghormati orang lain adalah bagian dari kerendahan hati yang memuliakan.
Meniti Jalan di Tengah Badai
Hidup memang tak selalu mulus. Sebagaimana petani yang pasrah menanti hujan, kita pun belajar menunggu takdir Allah dengan hati sabar. Al-Qur’an menegaskan:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Māidah: 23)
Ayat ini menjadi jangkar dalam badai. Bahwa tawakkal bukan sekadar sikap pasif, melainkan keberanian melangkah tanpa dikuasai rasa takut akan masa depan.
“Bagaimana kalau usaha ini gagal?”
“Berarti Allah sedang menyiapkan jalan lain.”
“Kalau orang meremehkan kita?”
“Mungkin Allah sedang mengajarkan arti rendah hati.”
Dialog sederhana ini sering muncul di hati kita sendiri. Ia meneguhkan, bahwa kekecewaan hanyalah pintu menuju kebijaksanaan.
Langkah Praktis
- Tawakkal dalam keseharian:
- Niatkan usaha dengan ikhlas, lalu serahkan hasil pada Allah.
- Ulangi doa singkat sebelum berangkat kerja: “Hasbunallāhu wa ni‘mal wakīl.”
- Catat tiga hal yang bisa disyukuri setiap malam, agar hati terlatih untuk pasrah dan tenang.
- Rendah hati dalam pergaulan:
- Dengarkan orang lain sebelum menilai.
- Gunakan kata-kata sederhana, hindari kesombongan.
- Latih diri untuk memuji kebaikan orang lain, bukan hanya menonjolkan diri sendiri.
Bayangkan kita hanyalah sebutir debu di jalan panjang kehidupan. Apa yang bisa kita sombongkan? Dan bayangkan kita berada di lautan luas, berlayar dengan perahu kecil. Tanpa angin dari Allah, perahu itu tak akan bergerak.
Riset Singkat
Sebuah penelitian di Journal of Positive Psychology (2019) menemukan bahwa orang yang mempraktikkan sikap tawakkal (trust in God) lebih mampu mengelola stres dan memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi. Sementara sikap rendah hati berhubungan dengan peningkatan kualitas hubungan sosial. Ini membuktikan bahwa apa yang diajarkan al-Ghazālī berabad-abad lalu kini terbukti relevan dalam psikologi modern.
Tawakkal dan rendah hati bukanlah kelemahan. Keduanya adalah seni hidup yang memeluk ketidakpastian dengan damai. Sebagaimana kata al-Ghazālī:
من عرف نفسه لم يغتر بها، ومن عرف ربه توكل عليه
“Barangsiapa mengenal dirinya, ia tidak akan tertipu olehnya. Dan barangsiapa mengenal Tuhannya, ia akan bertawakkal kepada-Nya.”
Semoga kita mampu berjalan di jalan ini, meski dunia gemuruh. Karena di ujung tawakkal ada kedamaian, dan di ujung rendah hati ada kemuliaan.
Ya Allah, ajari kami untuk percaya kepada-Mu dalam setiap langkah, dan lembutkan hati kami agar tidak terikat oleh kesombongan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
