SURAU.CO – KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak adalah sosok ulama besar. Ia terkenal sebagai seorang pejuang gigih. Ia lahir di Desa Tempuran, Kendal, pada tahun 1786. Nama aslinya adalah Ahmad Rifa’i. Ia mendapatkan julukan “Kalisalak” dari tempat dakwahnya.
Kehidupan masa kecilnya penuh tantangan. Ayahnya, Raden KH. Muhammad Marhum, wafat saat ia berusia 6 tahun. Meskipun singkat, ia sempat belajar dasar agama dari ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, ia diasuh dan dididik oleh pamannya. Pamannya bernama KH. Asy’ari. Ia adalah seorang ulama terkemuka di Kaliwungu. Dalam pengasuhan KH. Asy’ari, Ahmad Rifa’i tumbuh dengan ilmu agama yang kental. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Tak heran jika ia kelak menjadi ulama besar.
Menggali Ilmu di Tanah Suci
Kiai Ahmad Rifa’i memulai perjuangan dakwahnya sejak muda. Pada usia 30-an, tepatnya tahun 1833, ia menunaikan ibadah haji. Ia kemudian menetap di Makkah selama delapan tahun. Di sana, ia menimba ilmu dari berbagai ulama besar. Saat itu, Makkah menjadi pusat jaringan ulama dunia. Pertemuan dengan para ulama semakin memupuk semangatnya. Salah satu gurunya adalah Isa al-Barawi. Ia juga pernah berguru pada Ibrahim al-Bajuri. Kiai Rifa’i kemungkinan besar bertemu Syekh Ibrahim di Makkah. Banyak ulama beraktivitas di Makkah dan Madinah saat itu.
Selama di Makkah, Kiai Ahmad Rifa’i bertemu ulama Nusantara. Ia bertemu Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bangkalan. Ketiga ulama ini menjadi sahabat karib. Mereka sering berdiskusi tentang dakwah. setelah berdiskusi mereka kemudian membuat sebuah kesepakatan. Mereka akan fokus pada bidang ilmu masing-masing. Syekh Kholil Bangkalan akan fokus pada tasawuf. Syekh Nawawi Banten fokus pada ushuluddin. Sementara itu, Kiai Ahmad Rifa’i fokus pada ilmu fikih. Kesepakatan ini sangat berpengaruh dalam dakwah Islam di Nusantara. Hingga saat ini, ketiganya dikenal sebagai ulama ahli. KH. Ahmad Rifa’i sendiri menghasilkan banyak kitab fikih.
Membangun Pondasi Dakwah di Kalisalak
Sesampainya di tanah air, ia memulai dakwahnya. Ia memilih sebuah desa terpencil. Desa itu bernama Kalisalak. Sekarang, desa itu masuk Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Nusantara saat itu sedang terpuruk. Kondisi itu akibat penjajahan dan kebodohan. Ia sangat prihatin melihat masyarakatnya. Kehidupan sosial rakyat tertindas oleh penjajah. Birokrat pribumi banyak yang bersekutu dengan penjajah.
Melihat kondisi tersebut, ia mendirikan pondok pesantren di Kalisalak. Tempat ini menjadi pusat dakwahnya. Ia mengajar agama Islam di sana. Ia menilai budaya Islam harus diubah. Tujuannya agar terhindar dari budaya yang menyimpang. Ia ingin masyarakat kembali ke ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Selain mengajar di pondok, ia juga berdakwah ke tempat lain. Ia berdakwah di Wonosobo, Pekalongan, dan Kendal. Dakwahnya membuat pesantrennya dikenal luas. Banyak orang berbondong-bondong datang. Mereka ingin menjadi santri Kiai Ahmad Rifa’i. Materi dakwahnya tidak hanya tentang hukum Islam. Ia juga menyisipkan protes sosial. Protes ini karena ia melihat penindasan kolonial. Protes sosial itu ia masukkan dalam ajarannya. Ia juga menuliskannya dalam kitab-kitabnya.
Perlawanan Melalui Pena dan Syi’ir
Ia meyakini pemerintah kolonial adalah kafir. Ia mengajarkan santrinya untuk melawan penjajah. Ia melarang santrinya tunduk pada penjajah. Ia juga melarang bersekutu dengan birokrat pribumi. Kiai Ahmad Rifa’i mengajarkan Perang Sabil. Perang itu adalah melawan pemerintah kolonial. Ia percaya itu adalah sebuah kewajiban.
Kiai Rifa’i termasuk ulama yang sangat produktif. Ia banyak menulis syi’ir atau nazam. Salah satu syi’irnya menggambarkan kemarahannya. Ia marah pada pribumi yang bersekutu dengan penjajah. Seperti dalam salah satu syi’irnya :
“Ghalib alim lan haji pasik pada tulung, marang raja kafir asih pada junjung. Ikulah wong alim munafik imane suwung, Dumeh diangkat drajat dadi tumenggung. Lamun wong alim weruho ing alane wong takabur, Mengko ora tinemu dadi kadi miluhur.”
Yang artinya: Mayoritas alim dan haji fasik menolong, raja kafir dan senang mendukungnya. Itulah orang alim yang munafik yang kosong imannya, Merasa diangkat derajatnya jadi tumenggung. Jika orang alim menunjukkan jeleknya orang takabur, Nanti tidaklah mungkin dapat kadi terkenal.
Syair di atas menunjukkan sikap kerasnya. Ia melawan penjajah dan pengkhianat pribumi. Perlawanan para pahlawan sangat beragam. Kiai Ahmad Rifa’i memilih metode dakwah. Ia menggunakan lisan dan tulisan. Metodenya unik dan efektif. Ia membentuk kesadaran masyarakat. Ia menunjukkan bahwa mereka tertindas. Ia menanamkan Islam sebagai fondasi hidup.
Ia membuat kitab bernama Tarjumah. Kitab ini memudahkan santri memahami ajarannya. Ia menuliskannya dengan Arab pegon. Aksara itu menggunakan bahasa Jawa. Masyarakat saat itu belum familiar dengan bahasa Arab. Selain agama, kitabnya juga berisi pesan perjuangan. Ia mengajak melawan penjajah dengan sekuat tenaga.
Akhir Hayat dan
Mendapatkan Gelar Pahlawan Nasional
Perlawanan tanpa kekerasan juga ada risikonya. Kiai Ahmad Rifa’i beberapa kali dilaporkan. Ia bahkan dijebloskan ke penjara. Ia juga pernah bersitegang dengan ulama lain. Pemerintah kolonial menuduhnya menghasut masyarakat. Pemerintah menganggapnya mengajarkan ajaran menyimpang. Ia akhirnya diasingkan ke Ambon. Sebelum ke Ambon, ia dipenjara 13 hari di Pekalongan.
Meskipun di pengasingan, ia tetap produktif menulis. Ia menjalin komunikasi rahasia dengan santrinya. Ia menggunakan jasa saudagar Semarang. Namun, Belanda mengetahui hal itu. Ia kembali diasingkan ke Kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara hingga akhirnya hayatnya. Kiai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun 1870.
Pada tanggal 5 November 2004, Pemerintah, pada saat itu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menganugerahi beliau gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya pada negara.
Warisan Abadi
KH. Ahmad Rifai meninggalkan banyak banyak warisan abadi. Ia mewariskan setidaknya 68 karya. Kebanyakan karyanya adalah syair berbahasa Jawa. Semua karyanya tulis dengan aksara Arab (pegon).
Ajaran Kiai Ahmad Rifa’i tetap diamalkan. Para pengikutnya kenal sebagai Rifa’iyah. Pengikut Rifa’iyah tersebar di banyak daerah. Mereka ada di Batang, Pekalongan, Pemalang, Wonosobo, Kendal, Pati, dan Jakarta. Pada tahun 1965, Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah didirikan.
Warisan lainnya adalah Batik Rifa’iyah. Batik ini masih lestari hingga sekarang. Di Desa Kalipucang Wetan, Batang, masih banyak pengrajinnya. Ciri khas batik ini adalah gambar hewan tidak lengkap. Ini seolah menggambarkan hewan yang sudah mati.
Kisah hidup Kiai Ahmad Rifa’i mengajarkan banyak hal. Ia menunjukkan bahwa pena bisa menjadi senjata. Ia adalah teladan bagi kita semua.
Sumber :
Lathifah, Ainun. 2022. Warisan Ulama Nusantara Biografi dan Karya Intelektual Mereka. Yogyakarta. Laksana.
https://www.nu.or.id/tokoh/kiai-ahmad-rifai-kalisalak-melawan-dengan-syiir-73m7b
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
