Ghibah dan fitnah adalah dua luka yang sering tidak terlihat, namun dampaknya lebih pahit dari racun. Imam al-Ghazālī dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn mengingatkan bahwa lidah manusia ibarat pedang: ia bisa melindungi, tetapi juga bisa menorehkan luka yang dalam. Di era media sosial, luka ini makin terasa. Satu komentar bisa meruntuhkan martabat seseorang, satu kabar bohong bisa meracuni jutaan hati.
Al-Qur’an memberi peringatan tegas tentang ghibah:
“وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ”
“Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kalian merasa jijik kepadanya.” (QS. al-Ḥujurāt: 12)
Imam al-Ghazālī menambahkan dalam al-Arba‘īn:
“اللِّسانُ سَبعٌ إن أُطلِقَ أفْسَدَ وأهلَكَ”
“Lidah itu bagaikan binatang buas; bila dilepaskan, ia merusak dan membinasakan.”
Betapa sering kita melihat fenomena ini di Indonesia. Dari obrolan warung kopi, grup WhatsApp keluarga, hingga linimasa media sosial—ghibah hadir dengan wajah ramah, seolah hanya gurauan. Padahal, luka yang ditinggalkannya tak selalu sembuh.
Fitnah yang Menyalakan Api
Fitnah lebih berbahaya dari sekadar ghibah. Ia bukan hanya menceritakan keburukan yang benar, tetapi juga menyulut kabar bohong yang membakar. Al-Ghazālī menulis:
“الفِتنةُ إذا اشتَعَلتْ أكلتِ الدِّينَ والدُّنيا”
“Fitnah bila telah menyala, ia memakan agama sekaligus dunia.”
Fenomena hoaks di Indonesia adalah cermin nyata dari pesan ini. Data dari Kementerian Kominfo tahun 2023 mencatat lebih dari 11.000 kasus hoaks yang tersebar di masyarakat. Fitnah politik, fitnah agama, bahkan fitnah antarwarga, menjadi bara kecil yang menyulut api besar.
Santri: “Kiai, mengapa orang begitu mudah berghibah?”
Kiai: “Karena mereka lupa bahwa setiap kata adalah doa. Ghibah adalah doa buruk yang kembali ke diri sendiri.”
Ucapan ini seperti cahaya yang menyinari ruang gelap hati.
Al-Ghazālī mengingatkan kembali:
“مَن حفِظَ لِسانَهُ حفِظَ اللهُ دينَهُ”
“Barangsiapa menjaga lidahnya, Allah akan menjaga agamanya.”
Menjaga Lidah, Menjaga Jiwa
Lidah yang tidak terjaga melahirkan permusuhan. Sebaliknya, lidah yang dijaga melahirkan ketenangan. Riset psikologi komunikasi (Knobloch, 2020) menunjukkan bahwa kata-kata negatif lebih lama membekas dalam ingatan dibanding kata-kata positif. Maka, ghibah dan fitnah tidak hanya menyakiti orang lain, tetapi juga menodai jiwa orang yang melakukannya.
Lidah bisa menjadi jembatan menuju surga atau jurang menuju neraka. Pilihan ada di hati kita.
Langkah Praktis Menjaga Lidah
- Berdiam bila ragu. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)
- Ubah topik. Bila ghibah mulai muncul, alihkan pada cerita kebaikan.
- Ingat akibat. Bayangkan luka hati orang yang menjadi korban.
- Latih dzikir. Isi lidah dengan kalimat subḥānallāh atau alḥamdulillāh agar terbiasa menebar cahaya.
- Batasi media sosial. Kurangi ruang bagi fitnah untuk masuk ke hati.
Cahaya Ikhlas dalam Setiap Kata
Pada akhirnya, ghibah dan fitnah hanya menunjukkan kelemahan diri: ingin dianggap tahu, ingin merendahkan orang lain agar diri tampak lebih tinggi. Padahal, kemuliaan justru ada pada orang yang mampu menahan lidahnya.
Imam al-Ghazālī menutup pengingatnya dengan kalimat yang menyejukkan:
“الصَّمتُ بابٌ من أبوابِ الحِكمة، لا يدخُلُهُ إلّا مَن راقَبَ اللهَ في كلامِه”
“Diam adalah salah satu pintu hikmah, dan tidak masuk ke dalamnya kecuali orang yang menghadirkan Allah dalam ucapannya.”
Ghibah dan fitnah adalah dua racun yang bisa menggerogoti hati. Mari menjaga lidah, bukan hanya untuk menjaga orang lain, tetapi juga menjaga jiwa kita sendiri.
Ya Allah, jadikanlah lidah kami penyampai kebaikan, jauhkan ia dari ghibah dan fitnah, dan tanamkan dalam hati kami kecintaan pada kejujuran. Amin.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
