Opinion
Beranda » Berita » Melepaskan Kesombongan, Membuka Hati

Melepaskan Kesombongan, Membuka Hati

Ilustrasi manusia melepaskan kesombongan dan membuka hati dengan cahaya.
Figur manusia sederhana membuka tangannya, bayangan hitam menjauh, cahaya keemasan masuk ke hatinya.

Kesombongan adalah racun halus yang menyusup ke dalam hati manusia. Dalam kitab al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn, Imam al-Ghazālī menekankan bahwa sifat ini menjadi penghalang utama manusia untuk dekat dengan Allah. Seperti api yang membakar kayu, kesombongan menghanguskan amal-amal yang indah. Dan hanya dengan membuka hati, manusia bisa merasakan kelegaan yang sejati.

Di Indonesia, kita sering melihat fenomena sederhana: seorang pejabat yang lupa menyapa rakyat kecil, anak muda yang menolak nasihat orang tua, atau bahkan kita sendiri saat merasa lebih tahu daripada orang lain. Itu semua adalah wajah-wajah kesombongan yang hadir dalam bentuk berbeda.

Bayangan yang Membesar dalam Diri

Kesombongan seringkali tak kita sadari. Ia bukan hanya soal merendahkan orang lain, tetapi juga ketika hati merasa lebih suci dari orang yang sedang terjatuh.

Imam al-Ghazālī menulis:

الْكِبْرُ بَاطِنًا هُوَ اسْتِعْظَامُ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ وَاسْتِصْغَارُ غَيْرِهِ
“Kesombongan dalam batin adalah ketika seseorang membesarkan dirinya sendiri dan mengecilkan orang lain.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ayat Al-Qur’an menegaskan bahaya ini:

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ (النحل: ٢٣)
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (QS. An-Nahl: 23)

Betapa sering kita merasa bangga hanya karena sedikit ilmu, harta, atau jabatan. Padahal, semua itu hanyalah titipan sementara.

Seorang teman pernah bercerita:
“Ketika aku mulai merasa lebih pintar dari kawan-kawan sekantor, tiba-tiba aku kehilangan banyak sahabat. Bukan karena mereka menjauh, tapi karena aku yang menutup pintu hati.”

Dialog itu menggambarkan bahwa kesombongan adalah tembok tinggi yang mengasingkan kita. Ia membuat hati kering, sulit menerima kasih sayang.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Imam al-Ghazālī mengingatkan:

وَأَصْلُ الْكِبْرِ جَهْلٌ بِحَقِيقَةِ النَّفْسِ
“Akar kesombongan adalah ketidaktahuan tentang hakikat diri sendiri.”

Manusia lupa bahwa ia diciptakan dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Kesombongan muncul karena lupa pada asal-usulnya.

Membuka Hati, Menyerap Cahaya

Hati yang terbuka adalah hati yang lapang, seperti tanah yang siap menerima hujan. Tanpa kesombongan, jiwa menjadi subur untuk menumbuhkan kebaikan.

Hadits Nabi ﷺ bersabda:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar zarrah dari kesombongan.” (HR. Muslim)

Imam al-Ghazālī berkata:

عِلَاجُ الْكِبْرِ بِمَعْرِفَةِ النَّفْسِ وَمَعْرِفَةِ الرَّبِّ
“Obat kesombongan adalah dengan mengenal hakikat diri dan mengenal Tuhan.”

Ketika kita mengenal Allah, kita sadar bahwa semua kebesaran hanya milik-Nya. Dan ketika kita mengenal diri, kita tahu betapa lemahnya kita tanpa pertolongan-Nya.

Jejak di Jalan Kehidupan Sehari-hari

Di pasar tradisional Indonesia, sering kita melihat ibu-ibu sederhana menawar dengan sabar, pedagang kecil yang tetap tersenyum meski barang dagangannya tak laku. Dari mereka kita belajar rendah hati. Kesombongan tak pernah tumbuh di dada orang yang terbiasa berjuang dengan keringat sendiri.

Imam al-Ghazālī menulis lagi:

الْمُتَكَبِّرُ مَحْجُوبٌ عَنْ اللَّهِ بِحِجَابِ نَفْسِهِ
“Orang yang sombong terhalang dari Allah oleh tabir dirinya sendiri.”

Kesombongan adalah hijab yang menutupi cahaya, sedangkan kerendahan hati adalah jendela yang membuka jalan menuju cinta-Nya.

Apakah kita sering merasa lebih benar daripada orang lain? Sudahkah kita mengucapkan terima kasih kepada orang yang lebih kecil jasanya? Seberapa sering kita mengingat asal-usul kita: dari tanah, lemah, lalu Allah muliakan?

Sains dan Hati yang Tenang

Riset psikologi sosial menunjukkan bahwa orang yang rendah hati cenderung memiliki hubungan sosial lebih sehat, berumur lebih panjang, dan lebih bahagia. Kesombongan, sebaliknya, meningkatkan stres karena kebutuhan untuk selalu diakui.

Artinya, ajaran al-Ghazālī bukan hanya petunjuk agama, tapi juga kesehatan jiwa.

Menutup Jalan Kesombongan

Melepaskan kesombongan adalah perjalanan panjang. Kadang kita jatuh lagi dalam rasa bangga, lalu sadar, lalu kembali memohon ampun. Proses ini bukan kelemahan, melainkan tanda hati yang masih hidup.

Seorang murid bertanya pada gurunya:
“Mengapa hatiku masih sering sombong, guru?”
Sang guru tersenyum:
“Karena kau masih merasa memiliki hatimu. Padahal ia hanyalah pinjaman dari Allah.”

Ya Allah, bukakan hati kami seluas samudra. Jauhkan kami dari kesombongan yang menutup cahaya-Mu. Ajari kami kerendahan hati, sebagaimana tanah yang selalu merendah namun darinya tumbuh kehidupan.

Apakah kita siap melepaskan kesombongan hari ini, agar esok hati kita lebih ringan saat kembali kepada-Nya?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement