Puasa bukan sekadar lapar dan haus. Ia adalah latihan jiwa, jalan menuju kebebasan batin. Imam al-Ghazālī dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn menegaskan bahwa puasa bukan hanya meninggalkan makanan, tetapi menundukkan hawa nafsu yang liar.
الصَّوْمُ أَنْ يَكُفَّ الإِنْسَانُ نَفْسَهُ عَنْ شَهَوَاتِ الْبَطْنِ وَالْفَرْجِ، مَعَ كَفِّ الْجَوَارِحِ عَمَّا لاَ يَحِلُّ
“Puasa adalah menahan diri dari syahwat perut dan kemaluan, disertai penjagaan anggota tubuh dari hal-hal yang tidak halal.”
Puasa, dengan demikian, adalah jembatan menuju keheningan jiwa. Di balik rasa lapar, ada pertemuan rahasia antara hati manusia dan rahmat Allah.
Lapar yang Menghidupkan Nurani
Suatu sore di bulan Ramadan, seorang kawan bercerita:
“Setiap kali perutku keroncongan, aku teringat anak-anak di kampung sebelah yang jarang merasakan nasi hangat. Lapar ini seperti surat dari Allah, mengajarkanku peduli.”
Saya tersenyum, lalu menjawab pelan,
“Mungkin itulah rahasia puasa. Ia mengikat kita dengan derita orang lain.”
Riset modern pun mengamini. Sebuah penelitian dari Harvard (2019) menunjukkan bahwa intermittent fasting tidak hanya menyehatkan tubuh, tapi juga meningkatkan empati sosial—sebab lapar membuat otak lebih peka terhadap lingkungan sosial.
الصَّوْمُ يُنْقِي الْقَلْبَ وَيُذَكِّرُ الْإِنْسَانَ بِالْمَحْرُومِينَ
“Puasa menyucikan hati dan mengingatkan manusia kepada mereka yang kekurangan.”
Suara Sunyi dalam Diri
Ketika kita menahan diri, ada suara sunyi yang pelan-pelan terdengar. Suara itu bukan dari luar, melainkan dari kedalaman diri. Puasa adalah latihan mendengarkan bisikan jiwa, membedakan mana yang sejati dan mana yang semu.
Al-Qur’an menyinggungnya dengan lembut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة: 183)
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Takwa itu bukan sekadar takut pada Allah, tapi keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Puasa melatih kita berkata, “Cukup. Aku tidak butuh semua yang dunia tawarkan.”
Tangan yang Menahan, Hati yang Lapang
Imam al-Ghazālī menulis dengan indah tentang hakikat puasa:
حَقِيقَةُ الصَّوْمِ أَنْ يَكُونَ الْقَلْبُ صَائِمًا مَعَ الْجَوَارِحِ
“Hakikat puasa adalah ketika hati turut berpuasa bersama anggota tubuh.”
Jadi, puasa Puasa menahan diri bukan sekadar menutup mulut dari makanan, tapi juga menutup telinga dari gosip, mata dari pandangan yang melukai, dan tangan dari menyakiti.
Puasa adalah tangan yang menahan, hati yang lapang.
Apakah puasaku hanya menahan lapar, atau juga menahan lidah dari menyakiti?
Menyentuh Jiwa dengan Kesabaran
Ada seorang ibu penjual gorengan di pinggir jalan Tulungagung. Di bulan Ramadan, ia tetap berjualan dari pagi sampai sore, meski ia berpuasa. Ketika saya bertanya, “Tidak berat, Bu?” Ia tersenyum,
“Kalau saya bisa menahan diri, gorengan ini bukan sekadar rezeki, tapi juga ibadah.”
Jawaban sederhana itu membuat saya terdiam. Saya teringat kalimat al-Ghazālī:
الصَّبْرُ نِصْفُ الْإِيمَانِ، وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ
“Sabar adalah separuh iman, dan puasa adalah separuh sabar.”
Puasa, pada akhirnya, adalah kesabaran yang menyentuh jiwa. Kesabaran untuk menahan, kesabaran untuk memberi, dan kesabaran untuk menjadi manusia seutuhnya.
Langkah Praktis
- Saat lapar datang, bisikkan doa: “Ya Allah, ini bukan sekadar menahan, tapi mendekat.”
- Sisihkan sebagian uang buka puasa untuk berbagi, sekecil apa pun.
- Tulis satu kalimat refleksi setiap hari Ramadan: “Hari ini aku belajar…”
- Jaga lidah: lebih baik diam daripada menyakiti.
Penutup: Doa di Senja yang Tenang
Ketika matahari tenggelam, adzan maghrib berkumandang, puasa kita pecah dengan seteguk air. Namun sesungguhnya, bukan hanya dahaga yang terhenti—jiwa pun disiram rahmat.
Puasa adalah jendela yang membuka hati kepada cahaya. Menahan diri bukanlah kehilangan, melainkan cara Allah menyentuh jiwa kita dengan cinta yang lebih luas.
اللهم اجعل صيامنا صيام الصادقين، وافتح لنا أبواب الرحمة، واغفر لنا ذنوبنا ما تقدم منها وما تأخر.
Apakah kita sudah benar-benar berpuasa dengan hati, atau baru dengan perut? Pertanyaan itu biarlah menjadi teman perjalanan kita menuju Ramadan berikutnya.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
