Di negeri yang riuh oleh kesenjangan sosial, kata zakat seharusnya bergema bukan hanya di masjid atau khutbah Jumat, tetapi juga di jalanan pasar, kampus, kantor, hingga ladang-ladang petani. Zakat bukan sekadar kewajiban, ia adalah nafas cinta yang menyambungkan hati manusia. Imam al-Ghazālī dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn menempatkan zakat sebagai salah satu pilar kebahagiaan. Ia menulis bahwa harta yang tidak dibersihkan dengan zakat hanyalah beban, sedangkan harta yang dibagikan menjadi jalan menuju kedekatan dengan Allah.
Imam al-Ghazālī (1058–1111 M), Ḥujjatul Islām, lahir di Ṭūs, Persia. Ia bukan hanya seorang teolog, tetapi juga penyair hati. Dalam al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn, ia mengajarkan bahwa ibadah tidak berhenti pada gerakan tubuh, melainkan berlanjut ke kedalaman batin dan keluasan sosial.
Harta yang Menjadi Cahaya atau Beban
Kita sering melihat fenomena di Indonesia: orang kaya semakin kaya, orang miskin masih berjuang dengan sesuap nasi. Di balik itu, ada pesan suci agar harta tidak menjadi beban, melainkan cahaya.
الزكاةُ طهارةٌ للأموالِ، ونماءٌ للبركاتِ، وسببٌ في انشراحِ الصدرِ
“Zakat adalah penyuci harta, penumbuh keberkahan, dan sebab kelapangan dada.”
Seorang pedagang kecil di pasar pernah bercerita: “Saya tak pernah takut miskin karena zakat. Justru setelah menunaikan, dagangan saya selalu ada jalan.” Dari kalimat sederhana itu, saya melihat bagaimana zakat mengubah rasa takut menjadi rasa cukup.
Saat Memberi, Hati Justru Dipenuhi
Al-Ghazālī menulis bahwa manusia sering tertipu dengan kepemilikan. Harta yang kita genggam sejatinya hanya titipan.
من بَخِلَ بالزكاةِ فإنما بَخِلَ على نفسِهِ، وحَرَمَ قلبَهُ من لذّةِ العطاءِ
“Barangsiapa enggan menunaikan zakat, ia sebenarnya bakhil terhadap dirinya sendiri, dan menghalangi hatinya dari manisnya memberi.”
Dialog kecil sering kita dengar:
“Kalau saya zakat, harta saya berkurang dong?”
“Tidak, justru hati yang bertambah kaya.”
Riset sosial di Indonesia (Badan Amil Zakat Nasional, 2022) menunjukkan bahwa setiap Rp1 zakat yang disalurkan bisa meningkatkan daya ekonomi mustahik hingga Rp2,3. Angka ini membuktikan bahwa zakat bukan sekadar ritual, tetapi energi perubahan sosial.
Tangan yang Terulur, Doa yang Tersambung
Ada cerita seorang petani di desa yang menerima bantuan zakat untuk membeli bibit padi. Ia berkata lirih sambil menatap sawah: “Saya tidak hanya menerima beras, saya menerima doa agar hidup saya tumbuh kembali.”
الزكاةُ جِسرٌ بين الغنيِّ والفقيرِ، وبها تَتآلَفُ القلوبُ، وتُستنزَلُ الرحمةُ
“Zakat adalah jembatan antara si kaya dan si miskin. Dengannya hati-hati saling terhubung dan rahmat Allah diturunkan.”
Di dunia yang penuh jurang pemisah, zakat adalah jembatan emas. Ia bukan sekadar memberi uang, tapi juga menyalakan persaudaraan.
Kebahagiaan yang Tak Bisa Dibeli
Harta bisa membeli rumah, tapi tidak kebahagiaan. Hanya hati yang lapang oleh zakat yang bisa merasakan damai.
إذا ذاقَ الغنيُّ حلاوةَ الزكاةِ، عَلِمَ أنَّ السعادةَ في العطاءِ لا في الجمعِ
“Jika seorang kaya merasakan manisnya zakat, ia akan tahu bahwa kebahagiaan ada dalam memberi, bukan menimbun.”
Seorang sahabat saya pernah berkata setelah menyalurkan zakat: “Entah kenapa, setelah memberi saya justru merasa lebih lega. Seperti ada beban yang terangkat.” Saya tersenyum, karena begitulah zakat bekerja—ia mengurangi harta di tangan, tapi menambah kelapangan di hati.
Zakat bukan beban, melainkan cahaya.
Memberi membuat hati lapang, bukan miskin.
Mustahik bukan sekadar penerima, tapi sahabat doa.
Langkah Praktis
- Sisihkan 2,5% dari harta simpanan tahunan dengan hati ikhlas.
- Salurkan melalui lembaga zakat terpercaya atau langsung kepada yang membutuhkan.
- Rasakan syukur dan doakan mustahik agar keberkahan kembali pada diri kita.
Zakat adalah tangan yang memberi sekaligus hati yang bahagia. Di dalamnya ada cinta, ada doa, ada cahaya. Jika setiap muslim Indonesia benar-benar menunaikan zakat, mungkin wajah kemiskinan di negeri ini akan berubah menjadi senyum kebersamaan.
اللهم اجعلنا من المزكّين أموالَهم، ومن المُطهَّرة قلوبُهم، ومن السعداء بالعطاءِ لا بالادّخار.
Apakah hati kita sudah menemukan manisnya zakat, atau masih ragu melepaskan harta yang sejatinya hanya titipan?
* Sugianto al-jawi
Budayawan k0ntemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
