Opinion
Beranda » Berita » Menjadi Manusia Utuh Lewat Pena dan Hati

Menjadi Manusia Utuh Lewat Pena dan Hati

ilustrasi manusia utuh dengan pena dan hati bercahaya
Seorang manusia dengan pena menulis, sementara dari dadanya memancar cahaya hati yang menerangi halaman kertas.

Di antara karya emas Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī (1058–1111 M), al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn menjadi warisan penting yang merangkum inti-inti ajaran Islam: akidah, syariat, hingga akhlak. Imam al-Ghazālī, yang dijuluki Ḥujjatul Islām, adalah seorang ulama besar, filosof, dan sufi yang dalam perjalanan hidupnya mengalami pergulatan batin panjang—dari karir akademik yang gemilang, kebimbangan spiritual, hingga menemukan cahaya melalui jalan tasawuf.

Kitab ini ibarat pelita di tengah gelapnya zaman. Isinya mengajak kita bukan hanya sekadar berilmu, tetapi juga berjiwa, bukan sekadar menghafal agama, tapi menumbuhkan agama dalam denyut kehidupan.

Kalam yang Menyentuh Jiwa

Dalam kitab ini, Imam al-Ghazālī menulis:

اَلْعِلْمُ بِالْعَمَلِ كَالشَّجَرِ بِالثَّمَرِ، فَإِنْ لَمْ يُؤْتِ ثَمَرًا فَلَا خَيْرَ فِيهِ
Ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah, bila tak berbuah maka tiada kebaikan padanya.

Kutipan ini relevan dengan realitas Indonesia hari ini. Banyak orang pintar, bergelar, dan berilmu, namun tidak semuanya menebar manfaat. Dari ruang kelas hingga ruang parlemen, dari podium ceramah hingga layar kaca, kita sering lupa bahwa ilmu bukanlah piala untuk dipamerkan, melainkan cahaya untuk menuntun.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Imam al-Ghazālī menekankan hati sebagai pusat spiritualitas manusia. Beliau menulis:

اَلْقَلْبُ مَلِكٌ وَالْجَوَارِحُ جُنُودُهُ، فَإِذَا صَلَحَ الْمَلِكُ صَلَحَ الْجُنُودُ
Hati adalah raja, sedangkan anggota tubuh adalah pasukannya. Bila sang raja baik, maka baik pula seluruh pasukannya.

Di Indonesia, kita melihat korupsi, intoleransi, dan perpecahan sering bermula dari hati yang berkarat oleh nafsu. Padahal, bila hati kita jernih, tindakan sosial, politik, hingga ekonomi akan ikut jernih.

Percakapan yang Membuka Kesadaran

Seorang mahasiswa pernah bertanya kepada gurunya:
Murid: “Pak, mengapa orang yang rajin ibadah masih bisa curang dalam bisnisnya?”
Guru: “Karena ibadahnya berhenti di bibir dan tubuh, belum sampai ke hati. Padahal hati adalah pintu segala amal.”

Dialog singkat ini menggemakan pesan Imam al-Ghazālī: bahwa inti agama adalah menundukkan hati agar tunduk pada Allah, bukan sekadar formalitas lahiriah.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Kitab al-Arba‘īn menekankan keseimbangan antara akidah, ibadah, dan akhlak. Ia menulis:

اَلدِّيْنُ نِصْفَانِ: حَقُّ اللهِ وَحَقُّ الْعِبَادِ
Agama itu dua bagian: hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya.

Di tengah masyarakat Indonesia yang penuh keragaman, keseimbangan ini amat penting. Kita sering terjebak pada formalitas ritual, tapi melupakan hak sesama manusia. Padahal, menjaga kerukunan, menolong tetangga, dan melawan ketidakadilan adalah wujud nyata beragama.

Menyulam Cahaya di Tengah Gelap

Imam al-Ghazālī menulis tentang kesungguhan:

مَنْ جَدَّ وَجَدَ، وَمَنْ زَرَعَ حَصَدَ
Siapa yang bersungguh-sungguh akan menemukan, siapa yang menanam akan menuai.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Pesan ini menyentuh sanubari bangsa yang tengah menghadapi krisis ekonomi, pendidikan, hingga moral. Jalan keluar bukan sekadar menuntut perubahan dari luar, tapi memulai kesungguhan dari diri sendiri.

Ilmu tanpa hati hanyalah data, hati tanpa ilmu hanyalah emosi.

Menjadi manusia utuh berarti menyatukan akal, hati, dan amal.

Agama bukan hanya doa di sajadah, tapi juga sikap di jalanan, di pasar, di ruang sidang.

Langkah Praktis

  1. Membiasakan membaca doa sebelum beraktivitas agar hati terhubung dengan Allah.
  2. Mengamalkan satu ilmu kecil setiap hari, misalnya berbagi makanan atau tersenyum.
  3. Menyaring berita dengan hati bersih, agar tidak mudah termakan hoaks.
  4. Melatih keikhlasan dengan memberi tanpa berharap balasan.

Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan hati yang jernih. Mari belajar dari Imam al-Ghazālī: menjadikan hati sebagai pusat peradaban diri.

Doa kecil saya: Ya Allah, jadikan pena dan hati kami satu arah, menuliskan kebaikan dan menebarkannya bagi semesta.

Dan Anda, pembaca budiman, siapkah menjadi manusia utuh lewat pena dan hati?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement