Opinion
Beranda » Berita » Guru: Pelita di Jalan Gelap

Guru: Pelita di Jalan Gelap

ilustrasi guru pelita di jalan gelap
Gambaran filosofis tentang guru yang memberi cahaya di tengah kegelapan.

Jejak Sang Hujjatul Islam

Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī—atau yang kita kenal sebagai Hujjatul Islām—lahir di Ṭūs, Persia, tahun 1058 M. Beliau bukan sekadar ulama yang pandai menulis, tapi juga seorang pengelana hati. Beliau pernah meninggalkan popularitas dan jabatan akademiknya di Nizāmiyyah, hanya untuk mencari apa yang sejati. Dari perjalanan itu lahirlah kitab al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn, sebuah karya yang memadatkan inti agama dalam empat puluh fondasi: mulai dari akidah, ibadah, hingga akhlak.

Di antara lembar-lembar kitab itu, kita menemukan cahaya tentang ilmu, amal, dan bimbingan seorang guru. Guru bukan sekadar profesi, melainkan pelita yang menuntun manusia dari gelap menuju terang.

Imam al-Ghazālī menulis:

الْمُعَلِّمُ كَالشَّمْسِ يُضِيءُ لِغَيْرِهِ وَيُحْتَرِقُ نَفْسُهُ
Guru itu bagaikan matahari, ia memberi cahaya kepada orang lain, sementara dirinya terbakar.

Kata-kata ini begitu hidup di negeri kita. Lihatlah wajah para guru honorer di pelosok Indonesia. Mereka mengajar di ruang kelas sederhana, terkadang dengan kapur seadanya, gaji tak menentu, tapi tetap setia. Mereka seperti matahari yang terus memberi, meski perlahan habis dimakan waktu.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Cahaya yang Menghidupkan

Al-Ghazālī juga mengingatkan:

إِنَّ الْعِلْمَ بِلَا مُرَبٍّ يُفْسِدُ كَمَا يُفْسِدُ اللَّبَنُ إِذَا فَسَدَتِ الظِّرَافَةُ
Ilmu tanpa pembimbing merusak, sebagaimana susu rusak bila wadahnya kotor.

Bukankah ini relevan dengan zaman sekarang? Banyak orang belajar lewat mesin pencari, membaca potongan ayat di media sosial, tapi tanpa bimbingan seorang guru yang arif, justru melahirkan kekacauan. Kita melihat maraknya ujaran kebencian, klaim kebenaran tunggal, bahkan perpecahan di tengah masyarakat.

Guru hadir untuk menata, agar ilmu bukan jadi racun, tapi jadi obat.

Murid: “Pak, kenapa orang-orang pintar bisa salah jalan?”
Guru: “Karena pintar belum tentu bener. Dan bener belum tentu nyenengin orang. Yang penting, kamu belajar sampai hatimu jernih.”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Begitulah, guru sering menjawab dengan sederhana, tapi menghunjam ke hati.

Guru dan Jalan Gelap Bangsa

Indonesia sedang menghadapi banyak jalan gelap: korupsi yang merajalela, intoleransi yang makin mengeras, kesenjangan sosial yang melebar. Dalam kegelapan ini, guru bisa jadi pelita. Bukan hanya guru di kelas, tapi juga siapa pun yang mampu menuntun dengan ketulusan—orang tua, kiai, aktivis, bahkan seorang sahabat.

Imam al-Ghazālī berkata:

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
Barangsiapa tidak memiliki guru, maka gurunya adalah setan.

Kalimat ini tajam. Tanpa bimbingan, manusia mudah ditipu ego, ditarik arus hawa nafsu, atau terseret ombak kepentingan.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Lebih jauh, Al-Ghazālī menulis:

غَايَةُ التَّعْلِيمِ تَهْذِيبُ الْقَلْبِ وَإِصْلَاحُ النَّفْسِ
Tujuan pendidikan adalah menyucikan hati dan memperbaiki jiwa.

Artinya, guru sejati bukan hanya yang mengajarkan rumus atau teori, tetapi yang menanamkan akhlak dan membentuk jiwa. Kita butuh lebih banyak guru semacam ini di Indonesia—yang mengajarkan cinta, kesabaran, kejujuran, bukan sekadar mengejar angka di rapor.

Guru sejati adalah pelita yang menerangi jalan gelap.

Ilmu tanpa guru bisa menjadi racun, ilmu dengan guru menjadi obat.

Bangsa ini membutuhkan guru yang tak hanya pintar, tapi juga tulus dan berakhlak.

Langkah Praktis

  1. Mulai menghargai guru, sekecil apa pun jasanya.
  2. Cari pembimbing rohani atau intelektual, bukan sekadar sumber bacaan daring.
  3. Jadilah guru bagi sesama, walau hanya dengan berbagi kebaikan sederhana.
  4. Jadikan hati sebagai murid yang rendah hati, selalu siap belajar.

Doa di Tengah Jalan Gelap

Bangsa ini tidak akan sembuh dengan hanya membangun gedung tinggi. Ia butuh cahaya hati, butuh guru yang mendidik dengan cinta.

Ya Allah, terangilah hati kami dengan cahaya ilmu, bimbing kami dengan guru yang tulus, dan jadikan kami pelita bagi sesama.

Dan engkau, saudaraku yang membaca ini, apakah siap menjadi pelita kecil di tengah jalan gelap kehidupan?

 

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement