Opinion
Beranda » Berita » Belajar Itu Merawat Jiwa

Belajar Itu Merawat Jiwa

Santri belajar di bawah cahaya lampu minyak sebagai simbol merawat jiwa dengan ilmu.
Seorang pencari ilmu menyalakan pelita di jalan sunyi, simbol perjalanan belajar sebagai perawatan jiwa.

Ketika kita bicara tentang belajar, bukan hanya soal menambah hafalan atau menumpuk ijazah. Belajar adalah merawat jiwa, menjaga api kecil dalam dada agar tak padam diterpa angin zaman. Imam al-Ghazālī, ulama besar yang pernah dijuluki Hujjatul Islam, menulis kitab al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn — sebuah ringkasan padat yang merangkum empat puluh pokok penting tentang iman, syariat, dan akhlak. Kitab ini lahir dari kerinduan seorang alim yang mencari makna sejati ilmu, bukan sekadar kulitnya.

Al-Ghazālī hidup pada abad ke-11 M, seorang guru besar di Baghdad, yang sempat mengalami krisis batin hingga meninggalkan jabatan prestisius. Ia lalu berkelana, bertemu para sufi, belajar dari pengalaman, dan akhirnya kembali dengan kedalaman baru. Dari kegelisahan hidupnya, lahirlah kitab-kitab yang menuntun hati. Dan al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn adalah salah satu pintu cahaya itu.

Menyusuri Jalan Gelap dengan Cahaya Ilmu

Belajar, kata Al-Ghazālī, adalah perjalanan menuju Allah. Bukan perjalanan ke kampus, bukan sekadar menulis skripsi, tetapi perjalanan hati yang tak bisa dibohongi. Di Indonesia hari ini, kita sering menyaksikan anak-anak muda yang kuliah dengan biaya berat, orang tua menjual sawah demi membiayai sekolah. Tapi apa yang dicari? Apakah hanya gelar? Atau sebenarnya mereka sedang mencari jalan agar hidup punya makna?

Al-Ghazālī menulis:

العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kata-kata ini menampar kita. Betapa banyak orang pintar di negeri ini, tapi menghalalkan korupsi. Betapa banyak yang bersekolah tinggi, tapi masih tega merusak lingkungan. Ilmu seharusnya menghidupkan jiwa, bukan hanya memperbesar perut.

Suatu sore di warung kopi kampung, saya bertanya pada seorang kawan:

“Kenapa kau susah-susah kuliah, kalau akhirnya kerja juga masih bingung?”

Ia tersenyum getir, menatap kopi hitamnya.
“Aku belajar bukan cuma untuk kerja. Aku belajar supaya hatiku tahu ke mana harus pulang.”

Jawaban sederhana itu mengingatkan saya pada pesan Al-Ghazālī:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

Belajar bukan soal nilai raport. Belajar adalah perjalanan mengenali diri. Dan mengenali diri berarti mengenali arah hidup.

Merawat Jiwa, Merawat Bangsa

Hari ini Indonesia menghadapi banyak luka: korupsi yang merajalela, kesenjangan sosial, krisis lingkungan, hingga perpecahan politik. Semua ini bukan semata karena kurangnya undang-undang, tetapi karena jiwa manusia yang tak terawat.

Imam al-Ghazālī mengingatkan:

القلب هو الملك، والأعضاء جنوده، فإذا طاب الملك طابت الجنود
“Hati itu raja, sedang anggota tubuh adalah tentaranya. Jika rajanya baik, tenteranya pun baik.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Maka, belajar itu pada dasarnya merawat hati. Kalau hati anak-anak bangsa ini sehat, tenteranya — yakni perilaku mereka — akan melahirkan bangsa yang sehat pula.

Apa arti belajar bagimu? Apakah sekadar mengumpulkan nilai? Ataukah cara untuk menjaga hati tetap jernih?
Imam al-Ghazālī mengajarkan: ilmu sejati adalah yang menuntun pada amal, dan amal sejati adalah yang menumbuhkan cinta kepada Allah.

Langkah Praktis

  1. Belajar dengan niat merawat jiwa — bukan hanya mencari gelar.
  2. Amalkan sedikit demi sedikit apa yang dipelajari, jangan tunggu sempurna.
  3. Jadikan hati pusat orientasi: tanyakan, “Apakah ilmu ini mendekatkanku pada Allah atau menjauhkan?”
  4. Bersyukur dan rendah hati karena ilmu sejati tidak membuat angkuh.

Menutup Jalan dengan Doa

Akhirnya, belajar itu bukan perjalanan selesai dalam empat tahun kuliah. Ia adalah perjalanan seumur hidup. Sebagaimana pesan Al-Ghazālī:

العلم حياة القلوب من الجهل، ونور الأبصار من الظلمة
“Ilmu adalah kehidupan bagi hati dari kebodohan, dan cahaya bagi penglihatan dari kegelapan.”

Maka mari belajar dengan hati, belajar untuk merawat jiwa, agar kita bisa menyalakan pelita bagi bangsa yang sedang mencari jalannya.

اللهم اجعل علمنا نورًا يهدي قلوبنا، ويقربنا إليك، ولا تجعله وبالًا علينا

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement