Opinion
Beranda » Berita » Cahaya Ilmu yang Menuntun Hati

Cahaya Ilmu yang Menuntun Hati

Pemuda membaca kitab di bawah lampu minyak, simbol cahaya ilmu yang menuntun hati.
Pemuda belajar dalam sunyi malam, simbol bahwa ilmu adalah cahaya yang menuntun hati di jalan gelap.

Ilmu, kata Imam al-Ghazālī, bukan sekadar bahan hafalan di kepala atau sederet gelar di belakang nama. Ilmu itu cahaya, pelita yang menuntun hati agar tidak tersesat di jalan gelap. Kitab al-Arba‘īn fī Uṣūl al-Dīn adalah salah satu karya ringkasnya, berisi empat puluh pokok yang menuntun manusia untuk memahami iman, syariat, dan akhlak.

Al-Ghazālī, atau Abu Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī (1058–1111 M), pernah mengalami krisis batin. Dari seorang profesor di Baghdad yang dielu-elukan, ia justru meninggalkan segalanya untuk mencari kebenaran yang lebih hakiki. Dari perjalanan spiritual itu lahirlah kitab-kitab yang tak hanya menata pikiran, tetapi juga mengobati hati.

Ketika Cahaya Itu Membuka Jalan

Di negeri kita, banyak orang sekolah tinggi. Universitas penuh, seminar bertebaran, pelatihan silih berganti. Namun, apakah semua itu sudah menjadi cahaya bagi hati? Atau sekadar lampu neon yang terang sebentar lalu padam?

Al-Ghazālī pernah menulis:

العلم بلا عمل وبال، والعمل بلا علم ضلال
“Ilmu tanpa amal menjadi beban, amal tanpa ilmu menjadi kesesatan.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kalimat itu menohok sekali. Kita sering mendengar pejabat yang pandai bicara hukum, tetapi tega menjual hukum demi uang. Kita melihat sarjana lingkungan yang justru jadi konsultan bagi perusahaan perusak hutan. Seolah ilmu berhenti di kepala, tak sempat menetes ke hati.

Hati Sebagai Rumah Cahaya

Hati, menurut Al-Ghazālī, adalah cermin. Bila cermin itu kotor, cahaya ilmu tidak bisa memantul. Ia menulis:

القلب كالمرآة، والعلم صقاله، فإذا صدئ لم ينعكس فيه نور الحق
“Hati bagaikan cermin, dan ilmu adalah penggilapnya. Jika cermin berkarat, cahaya kebenaran tidak akan tampak di dalamnya.”

Di Indonesia, kita sering lupa bahwa pendidikan bukan sekadar kurikulum. Pendidikan adalah proses membersihkan hati. Lihatlah seorang ibu di desa yang tidak pernah masuk sekolah tinggi, tapi hidupnya penuh kejujuran. Bukankah ia lebih berilmu daripada sarjana yang pandai menipu?

Saya pernah naik bus kota, duduk di samping seorang mahasiswa. Ia mengeluh:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“Bang, kenapa aku kuliah capek-capek, tapi masih bingung hidup ini untuk apa?”

Saya tersenyum, lalu berkata:
“Mungkin karena kau baru mengisi kepala, belum sempat mengisi hati.”

Ia terdiam. Mungkin ia sadar, bahwa ilmu sejati bukan hanya soal memahami teori, tetapi menemukan arah hidup.

Ilmu yang Membawa kepada Allah

Imam al-Ghazālī menegaskan:

العلم ما يقربك من الله، وما سوى ذلك فليس بعلم
“Ilmu sejati adalah yang mendekatkanmu kepada Allah. Selain itu, bukanlah ilmu.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Pesan ini terasa relevan ketika kita melihat fenomena sosial hari ini. Banyak orang belajar agar dihormati, agar kaya, agar terkenal. Padahal, tujuan ilmu sejati adalah membuat kita lebih dekat pada Sang Pencipta.

Renungan:
Apakah ilmu yang kita miliki saat ini membuat kita lebih dekat pada Allah? Atau justru menjauhkan kita? Imam al-Ghazālī mengingatkan: ilmu yang tidak menggerakkan hati adalah ilusi, bukan pencerahan.

Langkah Praktis Menjaga Cahaya Ilmu

  1. Niatkan belajar untuk Allah – bukan hanya mencari gelar.
  2. Bersihkan hati dari kesombongan – ilmu akan redup bila dibarengi angkuh.
  3. Amalkan sekecil apapun ilmu yang dipelajari.
  4. Jaga lingkungan belajar – berkumpullah dengan orang yang menuntun hati, bukan yang menyesatkannya.

Pada akhirnya, ilmu itu bagaikan lampu minyak di rumah kampung: kecil tapi hangat, sederhana tapi menerangi. Jangan biarkan hati kita gelap meski rumah penuh buku.

Imam al-Ghazālī menulis lagi:

العلم نور يهدي من الضلالة، ويخرج من الظلمة إلى النور
“Ilmu adalah cahaya yang membimbing dari kesesatan, dan mengeluarkan dari kegelapan menuju terang.”

Semoga ilmu kita menjadi cahaya yang menuntun hati, bukan sekadar beban di kepala. Semoga Allah menjadikan kita pelajar sejati, yang terus belajar hingga napas terakhir.

اللهم اجعل قلوبنا منورة بالعلم، وأعمالنا صالحة بالعلم، وحياتنا مباركة بالعلم

 

* Suganto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement