Shalat adalah tarian jiwa yang berputar mengitari Sang Kekasih, bukan sekadar gerakan tubuh yang kaku. Dalam kitab Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib al-Makki, ia disebut sebagai nyawa ibadah, denyut hati yang menyambungkan manusia dengan Allah. Di Indonesia, ia bukan hanya ritual lima waktu, melainkan juga napas sosial yang hadir dalam azan masjid kampung, jamaah subuh di surau kecil, hingga shalat Id yang memutihkan alun-alun kota.
Abu Thalib al-Makki (w. 386 H) adalah seorang sufi besar dari Makkah dan Basrah. Karyanya Qūt al-Qulūb fī Mu‘āmalat al-Maḥbūb (Makanan Hati dalam Berinteraksi dengan Sang Kekasih) menjadi salah satu rujukan utama para ulama, termasuk al-Ghazali. Beliau menekankan bahwa shalat sejati bukan sekadar bacaan, melainkan ziarah hati menuju keheningan ilahi.
Di kota yang sibuk, seorang kawan berkata:
“Aku shalat di musholla kantor, meski hanya sebentar, ada rasa lega yang tak bisa kubeli dengan gaji.”
Kisah ini nyata di banyak sudut Indonesia. Orang-orang menemukan jeda dari hiruk-pikuk dunia dengan menunduk di hadapan Allah. Sembahyang menghadirkan ruang sunyi di tengah bising, seperti oasis di padang gersang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dijadikan penyejuk mataku dalam shalat.” (HR. An-Nasā’ī)
Hadis ini mengajarkan bahwa shalat adalah tempat berteduh, bukan beban.
Abu Thalib al-Makki menulis:
اَلصَّلَاةُ نُورُ الْقَلْبِ وَرُوحُ الْحَيَاةِ
“Shalat adalah cahaya hati dan ruh kehidupan.”
Ia diibaratkan sebagai lentera yang menyalakan jiwa. Tanpanya, hati manusia gelap, meski lahiriah tampak sibuk dan penuh prestasi.
Beliau juga menegaskan:
مَنْ لَمْ يُقِمْ صَلَاتَهُ فَقَدْ هَدَمَ بُنْيَانَ دِينِهِ
“Barangsiapa tidak menegakkannya, maka ia telah meruntuhkan bangunan agamanya.”
Kutipan ini mengingatkan: shalat bukan aksesori, melainkan tiang penyangga.
Di kampung, jamaah shalat masih menjadi perekat sosial: orang tua, anak muda, dan para perantau bertemu lima kali sehari. Namun di kota, ia kadang hanya gerakan terburu-buru.
Seorang anak pernah bertanya pada ayahnya:
-
Anak: “Ayah, kenapa kita harus shalat terus? Bukankah Allah sudah tahu isi hati kita?”
-
Ayah: “Nak, shalat bukan untuk memberi tahu Allah, tapi untuk mengingatkan hati kita yang sering lupa.”
Dialog ini menyingkap kebenaran: shalat bukan informasi untuk Allah, melainkan transformasi bagi diri.
Dalam Qūt al-Qulūb, beliau menulis:
إِذَا لَمْ يَخْشَعِ الْقَلْبُ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا هِيَ صُورَةٌ بِلَا رُوحٍ
“Jika hati tidak khusyuk dalam shalat, maka ia hanyalah rupa tanpa ruh.”
Dan lagi:
وَإِنَّمَا تُقْبَلُ الصَّلَاةُ عَلَى قَدْرِ حُضُورِ الْقَلْبِ فِيهَا
“Sesungguhnya shalat diterima sesuai kadar hadirnya hati di dalamnya.”
Kedua kutipan ini menegaskan: kualitas sembahyang bukan pada panjangnya bacaan, tetapi pada hadirnya hati.
Shalat adalah tarian jiwa. Bila tubuh bergerak namun hati tertinggal, ia hanya sekadar langkah. Bila hati hadir, ia menjadi ziarah menuju Sang Kekasih.
Langkah Praktis
-
Datang lebih awal ke masjid atau musholla, agar hati sempat tenang.
-
Hadiahkan untuk Allah, bukan untuk kewajiban semata.
-
Bayangkan berdiri di hadapan-Nya, bukan sekadar menghadap kiblat.
-
Baca perlahan dengan rasa, bukan cepat untuk segera selesai.
-
Akhiri dengan doa personal, agar meninggalkan jejak di hati.
Shalat adalah tarian jiwa mengitari Sang Kekasih, menyingkirkan penat dunia, dan menyalakan pelita batin. Di tengah perubahan sosial Indonesia, ia menjadi jangkar yang menjaga hati tetap teduh.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ قُلُوبَنَا تَخْشَعُ فِي الصَّلَاةِ، وَاجْعَلْ أَنْفُسَنَا تَسْتَلِذُّ بِذِكْرِكَ، وَنَوِّرْ حَيَاتَنَا بِنُورِ قُرْبِكَ
Ya Allah, jadikan hati kami khusyuk dalam shalat, jiwa kami merasakan nikmat dalam mengingat-Mu, dan hidup kami bercahaya dengan dekat kepada-Mu.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
