Fana’ adalah kata yang meruntuhkan dinding keakuan, sekaligus membuka ruang bagi cahaya Ilahi. Konsep ini banyak dijelaskan dalam kitab Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib al-Makki, seorang ulama sufi besar abad ke-10. Abu Thalib, yang nama lengkapnya Abu Thalib Muhammad bin ‘Ali al-Makki (w. 996 M), dikenal sebagai guru spiritual yang menekankan kesucian hati, zikir, dan penghayatan mendalam terhadap tauhid. Karyanya menjadi salah satu sumber utama bagi generasi sufi setelahnya, termasuk al-Ghazali.
Abu Thalib al-Makki menuliskan bahwa fana’ adalah pintu menuju ma’rifat, jalan di mana seorang hamba kehilangan kesadaran diri dalam gelombang kehadiran Allah. Ia menulis:
الفناء هو سقوط رؤية النفس في مشاهدة الحق
“Fana’ adalah hilangnya pandangan terhadap diri dalam menyaksikan al-Haqq.”
Kata-kata ini bukanlah teori kering, tetapi getaran pengalaman. Bayangkan seorang musafir yang tersesat di padang tandus. Di saat haus mencekik, ia menemukan oase. Begitulah fana’: kehausan jiwa akhirnya menemukan air kehidupan.
Gelombang Kehidupan Sosial dan Ego yang Menyala
Di Indonesia hari ini, kita melihat betapa ego sering menjadi pangkal konflik. Dari pertengkaran di jalan raya hingga perpecahan politik, semua lahir dari “aku” yang ingin selalu menang. Fana’ mengajarkan kebalikan: melepas genggaman diri agar kehidupan bersama menjadi teduh. Seorang sahabat pernah berkata kepada saya:
“Kita sering kalah bukan karena musuh di luar, tapi karena ego di dalam.”
Saya terdiam, mengingat kata Abu Thalib al-Makki:
الفناء هو سقوط التدبير للنفس والتسليم للتقدير
“Fana’ adalah jatuhnya pengaturan diri dan penyerahan penuh kepada takdir.”
Al-Qur’an berulang kali mengingatkan tentang pentingnya penyerahan total kepada Allah. Firman-Nya:
وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Barangsiapa menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka sungguh ia berpegang pada tali yang sangat kuat.” (QS. Luqman: 22)
Ayat ini seakan menegaskan, fana’ bukanlah kehilangan akal, tetapi penyerahan total dengan tetap berbuat kebaikan.
Fana’ berarti menyingkirkan tabir ego, agar hati hanya bergetar karena Allah. Di tengah hiruk-pikuk dunia, ia menjadi jalan sunyi yang justru menyalakan cahaya.
Fana’ dalam Realitas Kehidupan Modern
Di era digital, manusia sering kali membangun “aku” baru melalui media sosial. Kita mengejar likes, views, dan komentar, seakan itu adalah sumber harga diri. Abu Thalib mengingatkan:
من لم يفن عن نفسه لم يصدق في محبته
“Siapa yang belum fana’ dari dirinya, ia belum jujur dalam cintanya.”
Cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Allah. Jika manusia masih terikat pada popularitas, maka cintanya masih bercampur kepentingan. Bandingkan dengan riset psikologi sosial yang menyebutkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menimbulkan kecemasan, depresi, dan krisis identitas. Di sini, tasawuf memberi solusi: lepaskan ego, temukan keutuhan dalam Allah.
Langkah Praktis
Dzikir harian – biasakan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir untuk melemahkan dominasi ego.
Shalat dengan khusyuk – bukan sekadar gerakan, tetapi merasakan kehadiran Allah.
Mengurangi pamer digital – sebelum posting sesuatu, tanyakan: “Apakah ini karena Allah atau karena ego?”
Merenung dalam kesunyian – luangkan 10 menit sehari tanpa gadget, hanya bersama napas dan nama Allah.
“Ya Rabb, aku ingin dekat dengan-Mu, tapi egoku terlalu keras.”
“Maka biarkan Aku yang melunakkan hatimu, wahai hamba-Ku.”
Kutipan lain dari Abu Thalib al-Makki menutup dengan indah:
إذا فنِي العبد عن نفسه وجد الله قائماً مقامه
“Jika hamba fana’ dari dirinya, ia menemukan Allah berdiri menggantikan dirinya.”
Fana’ bukanlah akhir, melainkan awal hidup yang sebenarnya. Ia adalah hancurnya dinding palsu agar kita bisa merasakan luasnya samudra Ilahi. Semoga Allah menuntun kita untuk merasakan manisnya melepas diri, dan menemukan kehidupan sejati dalam-Nya.
Ya Allah, hancurkanlah keakuan kami, hidupkanlah Engkau dalam hati kami, jadikanlah fana’ sebagai jalan menuju baqa bersama-Mu.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
