Opinion
Beranda » Berita » Ma‘rifat: Cermin yang Memantulkan Wajah Kekasih

Ma‘rifat: Cermin yang Memantulkan Wajah Kekasih

Ilustrasi filosofis ma‘rifat sebagai cermin hati dalam tasawuf.
Seorang peziarah menatap cermin di padang pasir, wajahnya memantul bersama cahaya bintang

Ma‘rifat, dalam bahasa para sufi, adalah cermin bening tempat wajah Kekasih abadi—Allah—terpantul di hati manusia. Sejak awal, Abu Thalib al-Makki dalam karyanya Qūt al-Qulūb fī Mu‘āmalat al-Maḥbūb menekankan bahwa ma‘rifat bukan sekadar ilmu, melainkan pengenalan batin yang melahirkan cinta, takut, dan rindu sekaligus.

Abu Thalib al-Makki (w. 996 M), seorang ulama besar dari Makkah yang kemudian menetap di Baghdad, dikenal sebagai guru para sufi awal. Karyanya Qūt al-Qulūb menjadi salah satu rujukan Imam al-Ghazali saat menulis Ihya’ Ulumuddin. Dalam kitab itu, ia menggambarkan perjalanan ruhani manusia menuju Allah dengan bahasa yang lembut, penuh hikmah, dan menyentuh jiwa.

Ketika Hati Menjadi Jendela

Seorang sahabat saya pernah berkata di sebuah warung kopi di Yogyakarta:

“Aku sudah belajar banyak, tapi mengapa aku masih merasa kosong? Apakah ilmu tanpa cinta itu seperti wadah tanpa air?”

Pertanyaan itu menancap dalam hati saya. Kita sering mengukur hidup dari seberapa banyak yang kita tahu, tetapi lupa bertanya: apakah kita sudah mengenal Dia?

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Al-Makki menulis dengan tegas:

مَنْ عَرَفَ اللَّهَ أَحَبَّهُ، وَمَنْ أَحَبَّهُ أَطَاعَهُ

“Siapa yang mengenal Allah, ia akan mencintai-Nya. Dan siapa yang mencintai-Nya, ia akan taat kepada-Nya.”

Ma‘rifat adalah pintu menuju ketaatan. Ia bukan sekadar pengetahuan intelektual, tetapi cahaya yang mengubah laku.

Bayangan Sosial di Negeri Kita

Di tengah hiruk pikuk Indonesia, kita sering menemukan paradoks. Banyak orang cerdas, lulusan universitas ternama, bahkan paham agama secara tekstual, namun korupsi tetap merajalela, hoaks merusak persaudaraan, dan kemunafikan sosial menjadi wajah sehari-hari.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Ilmu tanpa ma‘rifat melahirkan kesombongan. Sebaliknya, ma‘rifat sejati melahirkan kerendahan hati.

Al-Qur’an mengingatkan:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang mengenal-Nya).” (QS. Fathir: 28)

Ilmu yang tidak membuat hati bergetar hanya menambah berat timbangan, bukan mendekatkan ke surga.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Cermin yang Menyimpan Rahasia

Abu Thalib al-Makki memberikan perumpamaan yang begitu indah:

الْمَعْرِفَةُ مِرْآةُ الْقَلْبِ، فَإِذَا صَفَا الْقَلْبُ رَأَى فِيهَا الْحَقَّ

“Ma‘rifat adalah cermin hati; bila hati itu bening, ia akan melihat kebenaran di dalamnya.”

Kebeningan hati adalah syarat utama. Hati yang kotor dengan iri, sombong, dan riya hanya akan memantulkan bayangan palsu. Tetapi hati yang dibersihkan dengan zikir dan kasih sayang akan menampakkan wajah Kekasih.

Ilmu tanpa ma‘rifat = kering tanpa buah.
Ma‘rifat tanpa amal = cahaya tanpa arah.
Ma‘rifat sejati = cinta yang mekar dalam taat.

Zikir: Untaian Nama yang Membuka Pintu

Dalam Qūt al-Qulūb, al-Makki menulis:

مَنْ دَامَ ذِكْرُهُ دَامَتْ مَعْرِفَتُهُ، وَمَنْ غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ ذَهَبَتْ مَعْرِفَتُهُ

“Barang siapa konsisten dalam zikir, ma‘rifatnya akan tetap hidup. Barang siapa lalai dari zikir, ma‘rifatnya akan sirna.”

Di sinilah rahasia ma‘rifat: ia bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis, tumbuh seiring intensitas kita mengingat Allah.

Langkah Praktis Menapaki Jalan Ma‘rifat

Beningkan Niat – tanyakan setiap hari: “Apakah yang kulakukan ini mendekatkanku kepada Allah?”

Perbanyak Zikir – khususkan waktu pagi dan malam untuk duduk hening bersama-Nya.

Belajar dari Guru Ruhani – bacalah karya ulama sufi, ikuti majelis ilmu yang menghadirkan cinta, bukan kebencian.

Sujud Panjang – tempat paling dekat dengan Allah adalah sujud, di situlah rahasia ma‘rifat sering terbuka.

Cintai Sesama – karena mengenal Allah tak mungkin dipisahkan dari kasih pada makhluk-Nya.

“Apakah engkau mengenal Allah?” tanya seorang murid kepada gurunya.

Sang guru menjawab lembut,
“Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya. Aku hanya merasakan-Nya di setiap desah napas. Itu cukup bagiku.”

Dialog singkat itu membuat kita sadar: ma‘rifat lebih sering terasa daripada terucap.

Cahaya Harapan di Tengah Gelap

Mungkin kita merasa jauh dari ma‘rifat karena terlalu sibuk dengan dunia. Namun pintu selalu terbuka. Allah berfirman:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16)

Betapa indah janji ini: Allah lebih dekat dari detak jantung kita sendiri.

Ya Allah, jernihkan cermin hati kami agar kami mampu melihat-Mu. Jadikan ilmu kami jalan menuju cinta-Mu, dan ma‘rifat kami jalan menuju taat.

Bukankah hidup hanyalah perjalanan singkat? Maka pertanyaan yang layak kita renungkan: sudahkah cermin hati kita memantulkan wajah Kekasih, atau hanya bayangan diri sendiri?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement