Opinion
Beranda » Berita » Munajat Malam, Saat Bintang Bicara dalam Bahasa Cinta

Munajat Malam, Saat Bintang Bicara dalam Bahasa Cinta

Munajat malam dengan cahaya bintang, melambangkan perjuangan ikhlas melawan riya’.
Ilustrasi seorang hamba dalam sujud malam, di bawah langit berbintang. Cahaya bulan menyinari, sementara bayangan panjang hadir di tanah.

Riya’ adalah bayangan halus yang menempel pada amal. Ia begitu lembut, nyaris tak terlihat, namun mampu mengikis keikhlasan. Dalam Qūt al-Qulūb, Abu Thalib al-Makki menjelaskan bahwa riya’ bagaikan racun dalam madu: tampak manis dari luar, tetapi menghancurkan dari dalam.

Abu Thalib al-Makki lahir di Makkah pada abad ke-4 H. Ia tumbuh dalam tradisi ilmu yang kental, lalu menetap di Baghdad, pusat intelektual Islam kala itu. Kitabnya, Qūt al-Qulūb, menjadi rujukan utama ilmu tasawuf, membahas perjalanan hati menuju Allah. Ia wafat pada 386 H, meninggalkan karya yang masih relevan hingga kini.

Cahaya Ibadah yang Terselubung Bayangan

Di Indonesia hari ini, banyak orang berlomba melakukan kebaikan. Namun, dalam suasana sosial yang penuh sorotan, amal kadang terjebak dalam pencitraan. Sedekah dipamerkan di media sosial, doa ditulis panjang di status agar terlihat saleh, ibadah direkam untuk menuai komentar.

Abu Thalib menulis:

الرِّيَاءُ شِرْكٌ خَفِيٌّ، مَنْ عَمِلَ لِغَيْرِ اللَّهِ حُجِبَ عَنْ نُورِهِ

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“Riya’ adalah syirik tersembunyi. Siapa yang beramal bukan karena Allah, ia terhalang dari cahaya-Nya.”

Amal yang seharusnya jadi jembatan menuju Allah bisa berubah menjadi tirai yang menghalangi.

Bayangkan seorang hamba di malam hening. Ia berdiri dalam tahajud, hanya ditemani bintang. Tidak ada kamera, tidak ada penonton.

Hati: “Mengapa engkau bangun di malam ini?”
Diri: “Karena ingin terlihat saleh.”
Hati: “Siapa yang melihatmu, selain Dia?”
Diri: (terdiam)

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas menunaikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Bisikan yang Mengikis Cahaya Amal

Fenomena sosial kita sering memperlihatkan riya’ dalam wajah baru. Anak muda berbagi konten ibadah, bukan hanya untuk dakwah, tapi juga untuk validasi. Lomba kebaikan lebih sibuk menampilkan panggung daripada memurnikan niat.

Abu Thalib berkata:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا بِعَمَلِهِ، أَعْطَاهُ اللَّهُ الدُّنْيَا، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

“Siapa yang menginginkan dunia dengan amalnya, Allah akan memberinya dunia, tetapi ia tidak mendapat bagian di akhirat.”

Riya’ adalah penyakit hati yang sering menyamar sebagai motivasi. Padahal, ia menjerumuskan jiwa dalam kehampaan.

Riya’ adalah bayangan dalam cahaya amal. Ikhlas adalah bintang yang tetap bersinar dalam gelap. Hati hanya bisa diselamatkan bila niatnya jernih.

Jalan Ikhlas di Tengah Hiruk Pikuk

Penelitian kontemporer (Journal of Spirituality in Mental Health, 2021) menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukan dengan keikhlasan menumbuhkan ketenangan batin dan menurunkan tingkat stres. Ilmu modern membenarkan pesan tasawuf: ikhlas adalah energi jiwa.

Abu Thalib menulis dengan lembut:

النِّيَّةُ مِيزَانُ الْعَمَلِ، فَإِذَا صَحَّتْ صَحَّ الْعَمَلُ

“Niat adalah timbangan amal. Jika niatnya benar, amalnya pun benar.”

Langkah Praktis: Menjaga Diri dari Riya’

Awali amal dengan doa ikhlas. Mohon kepada Allah agar amal hanya untuk-Nya.

Sembunyikan sebagian amal. Biar ia menjadi rahasia antara kita dan Allah.

Ingat kefanaan pujian. Pujian manusia cepat berlalu, tapi ridha Allah abadi.

Muroqabah hati. Sadari bahwa Allah selalu melihat, meski manusia tidak.

Riya’ hanyalah bayangan, sementara ikhlas adalah cahaya yang tak pernah padam. Dalam munajat malam, bintang-bintang seakan bicara dalam bahasa cinta: keikhlasan adalah jalan pulang.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَعْمَالَنَا خَالِصَةً لِوَجْهِكَ، وَنَجِّنَا مِنْ رِيَاءِ الْقُلُوبِ

Ya Allah, jadikan amal kami tulus untuk wajah-Mu, dan selamatkan kami dari riya’ dalam hati.

Apakah kita siap menyalakan cahaya amal yang murni, meski tak ada mata manusia yang melihatnya?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement