Sabar selalu menjadi jalan sunyi, tempat langkah-langkah jiwa diuji dalam kesendirian. Namun, di balik kesunyian itu, tersimpan taman rahasia di mana Sang Kekasih menanti dengan kasih tak bertepi. Dalam Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib al-Makki, sabar hadir sebagai salah satu pilar utama yang menopang bangunan iman. Tanpa sabar, hati akan mudah runtuh diterpa badai dunia.
Abu Thalib al-Makki, ulama sufi abad ke-10 yang lahir di Mekah dan wafat di Baghdad, menulis Qūt al-Qulūb bukan sekadar teori, melainkan panduan hidup rohani. Kitab itu lahir dari pengalaman panjangnya menapaki jalan tasawuf. Dari warisan inilah Imam al-Ghazali kemudian terinspirasi untuk menulis karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin.
Sabar, Cahaya yang Menguatkan Hati
Abu Thalib menulis:
اَلصَّبْرُ مِفْتَاحُ الْفَرَجِ وَنُورُ الْقَلْبِ فِي ظُلُمَاتِ الْبَلَاءِ
“Sabar adalah kunci dari kelapangan dan cahaya hati di tengah gelapnya cobaan.”
Kalimat ini begitu dalam. Banyak orang mengira sabar hanya berarti menahan amarah, padahal ia cahaya yang menuntun langkah di kegelapan. Sabar ibarat lampu minyak di rumah desa ketika listrik padam—kecil, sederhana, tetapi cukup memberi arah.
Di kampung, saya pernah menyaksikan seorang ibu yang kehilangan suaminya, tetapi tetap kuat menghidupi tiga anak. Ketika ditanya dari mana kekuatannya, ia menjawab singkat:
“Kalau saya tidak sabar, siapa yang akan jadi pelita untuk anak-anak?”
Luka Sosial dan Panggilan Kesabaran
Fenomena sosial di Indonesia memperlihatkan betapa sabar diuji setiap hari. Petani berjuang menghadapi gagal panen karena cuaca tak menentu. Buruh kehilangan pekerjaan secara mendadak. Mahasiswa menunggu bertahun-tahun demi peluang kerja.
Al-Qur’an mengingatkan:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ • الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah berkata: Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155–156)
Ayat ini bukan sekadar tentang kehilangan. Lebih dari itu, ia mengajarkan cara menata hati: menyerahkan kendali sepenuhnya kepada Allah.
Sabar sebagai Pakaian Jiwa
Dalam kitabnya, Abu Thalib kembali menegaskan:
اَلصَّبْرُ لِبَاسُ الْعَابِدِينَ وَزِينَةُ الْمُتَّقِينَ
“Sabar adalah pakaian para ahli ibadah dan perhiasan orang-orang yang bertakwa.”
Sabar bukan hanya sekadar menahan, melainkan pakaian jiwa. Tanpa pakaian itu, jiwa akan telanjang, rapuh, dan mudah terluka. Sebaliknya, ketika sabar dikenakan, jiwa terlindungi dan tampak indah di hadapan Allah.
Dialog Sunyi di Dalam Diri
Sering kali jiwa kita berdebat dengan diri sendiri:
-
Hati: “Aku lelah, ingin segera keluar dari masalah.”
-
Jiwa: “Bertahanlah, karena setiap badai pasti reda.”
-
Hati: “Tapi aku tidak kuat lagi.”
-
Jiwa: “Allah tidak membebani kecuali sesuai kemampuanmu.”
Percakapan batin ini nyata. Sabar menjadi jawaban lembut yang menenangkan dan menyinari jalan gelap.
Renungan Singkat
Sabar menyerupai jembatan. Ia mungkin panjang, licin, dan berliku. Namun, di ujungnya terbentang taman kasih, tempat jiwa beristirahat. Abu Thalib menulis:
اَلصَّبْرُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْهُ الْمُحِبُّونَ
“Sabar adalah pintu dari pintu-pintu surga, yang dimasuki oleh para pecinta Allah.”
Langkah Praktis: Menempa Sabar
Agar sabar tidak hanya jadi konsep, perlu latihan nyata:
-
Sadari ritme kehidupan. Tidak semua doa terkabul seketika. Penundaan justru ruang bagi jiwa untuk bertumbuh.
-
Mulailah dari hal kecil. Menahan emosi saat antre, menghadapi macet, atau menunggu giliran, semua itu melatih sabar.
-
Bernafas dengan doa. Tarik napas dalam-dalam sambil menyebut “Ya Shabur”, hembuskan sembari melepas keluh.
-
Kelilingi diri dengan komunitas. Bersahabat dengan orang bijak membuat sabar terasa lebih ringan.
Ketika Sabar Menjadi Jalan Cinta
Sabar sejatinya bukan hanya kemampuan bertahan, melainkan jalan cinta. Ia melatih manusia agar tidak terburu-buru ingin memiliki, tidak gelisah ketika kehilangan, dan tidak sombong saat berhasil.
Seorang kiai pernah berpesan kepada muridnya:
“Sabar itu bukan hanya diam, tapi berjuang dengan hati yang tenang.”
Pesan itu benar adanya. Sabar bukan pasrah buta, melainkan pasrah yang penuh cahaya.
Penutup
Pada akhirnya, sabar memang jalan sunyi, tetapi justru jalan itulah yang paling aman. Siapa yang menempuhnya akan sampai di taman kasih, tempat cinta Allah bersemi tanpa henti.
Ya Allah, jadikan sabar pelita dalam setiap langkah kami, dan pertemukan kami kelak di taman kekasih-Mu yang abadi. Amin.
Dan engkau, sudahkah sabar benar-benar menjadi pakaian jiwa yang kau kenakan hari ini?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
