Rakyat membutuhkan pemimpin yang adil, bukan penguasa yang sibuk mengejar tepuk tangan. Ibn Taimiyah dalam al-Siyāsah al-Syar‘iyyah menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan panggung mencari pengagum. Oleh karena itu, politik dalam Islam berdiri di atas keadilan, kejujuran, dan pengabdian—bukan pada citra kosong atau pujian semu.
Antara Bayang-Bayang Rakyat dan Sorak Sorai Kekuasaan
Suatu sore, di sebuah angkringan kecil, saya mendengar keluh kesah seorang tukang becak.
“Pak, katanya pemimpin itu pelayan rakyat. Tapi kok lebih sering tampil di televisi daripada di jalanan?”
Kawannya menimpali, “Ya, mungkin karena televisi lebih menjanjikan tepuk tangan.”
Dialog sederhana itu menohok. Politik yang seharusnya menjadi wadah pelayanan, justru berubah menjadi panggung citra. Padahal Ibn Taimiyah menulis:
الإِمَامُ وُجِدَ لِرِعَايَةِ الْمَصَالِحِ لا لِطَلَبِ الْمَحَامِدِ
“Pemimpin diangkat untuk menjaga kemaslahatan, bukan untuk mengejar pujian.”
Betapa jelas peringatan itu: kepemimpinan hadir untuk menunaikan tanggung jawab, bukan menimbun pengagum.
Cermin Retak Bernama Kekuasaan
Dalam sejarah, banyak pemimpin tumbang bukan karena lemah, melainkan karena sibuk memoles wajah kekuasaan. Mereka haus tepuk tangan, tetapi lupa bahwa rakyat menunggu kesejahteraan.
Ibn Taimiyah mengingatkan dengan tegas:
إِذَا صَارَ الْحَاكِمُ يَطْلُبُ الْمَحَامِدَ فَقَدْ غَرَّهُ الشَّيْطَانُ وَأَضَاعَ الْأَمَانَةَ
“Apabila penguasa hanya mengejar pujian, ia telah tertipu setan dan menyia-nyiakan amanah.”
Penguasa yang sibuk membangun citra ibarat orang bercermin pada kaca retak: ia hanya melihat potongan wajahnya, bukan utuh yang diharapkan rakyat.
Lebih jauh, pujian adalah candu. Ia memang menguatkan sesaat, tetapi melumpuhkan nurani. Pemimpin sejati mencari ridha Allah, bukan sorak sorai manusia.
Amanah yang Lebih Berat dari Gunung
Al-Qur’an menyebut amanah sebagai sesuatu yang ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, tetapi mereka enggan memikulnya. Hanya manusia yang berani menerimanya (QS. al-Ahzāb: 72).
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Pemimpin adalah penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ibn Taimiyah menuliskan:
أَعْظَمُ الْوَاجِبَاتِ عَلَى الْوُلَاةِ حِفْظُ الدِّينِ وَرِعَايَةُ الدُّنْيَا
“Kewajiban terbesar pemimpin adalah menjaga agama dan mengurus urusan dunia.”
Dengan demikian, pemimpin sejati tidak sibuk mengejar popularitas. Sebaliknya, ia memastikan agama terjaga, keadilan ditegakkan, dan rakyat terlindungi.
Luka Sosial dari Pemimpin yang Salah Arah
Kenyataan hari ini menunjukkan, sebagian pemimpin lebih sibuk membangun monumen citra daripada memperbaiki kualitas hidup rakyat. Jalanan penuh baliho wajahnya, sementara jalan desa tetap rusak. Rakyat berbisik lirih:
“Apakah wajah kami masih dipandang, atau hanya wajahnya yang dicetak besar-besar di spanduk?”
Ibn Taimiyah memberi peringatan keras:
مَنْ وَلِيَ أَمْرَ النَّاسِ فَلَمْ يَعْدِلْ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Siapa yang memimpin urusan manusia lalu tidak berlaku adil, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Maka jelas, pengkhianatan itu tidak hanya terhadap rakyat, tetapi juga kepada amanah Ilahi.
Langkah Praktis
Untuk menjaga amanah kepemimpinan, kita perlu langkah nyata:
-
Pilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, bukan pencitraan.
-
Dorong budaya kritik sehat, bukan kultus individu.
-
Ingatkan diri sendiri bahwa amanah kepemimpinan adalah ibadah.
-
Jangan mengkultuskan manusia; hanya Allah yang pantas diagungkan.
Dengan langkah-langkah itu, politik bisa kembali menjadi jalan pelayanan, bukan panggung pengagungan diri. Rakyat memerlukan pemimpin yang dekat dan adil, bukan penguasa yang hanya ingin dipuji.
Menutup dengan Doa
اللَّهُمَّ وَلِّ أُمُورَنَا خِيَارَنَا، وَلَا تُوَلِّ أُمُورَنَا شِرَارَنَا
“Ya Allah, jadikanlah urusan kami dipimpin oleh orang-orang terbaik kami, jangan Engkau serahkan pada yang terburuk di antara kami.”
Pada akhirnya, pertanyaannya kembali kepada kita: beranikah kita, baik sebagai rakyat maupun calon pemimpin, menanggalkan haus pujian dan sungguh-sungguh berjalan di jalan amanah?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
