Di tengah hiruk pikuk peradilan modern, kursi hakim seringkali menjadi pusat perhatian. Kursi itu bukan sekadar kayu berukir yang dinaikkan lebih tinggi dari kursi lain di ruang sidang. Ia adalah simbol keadilan, kejujuran, sekaligus cermin nurani bangsa. Namun, betapa sering kita mendengar kisah kursi itu ternodai oleh suap, diseret oleh kepentingan politik, atau dibutakan oleh kedekatan personal. Padahal, dalam pandangan Ibn Taimiyah melalui kitab al-Siyāsah al-Syar‘iyyah, hakim adalah wakil Tuhan di bumi dalam menegakkan keadilan.
Jejak Nurani yang Terabaikan
Suatu malam di sebuah warung kopi, saya berbincang dengan seorang teman yang pernah terjerat kasus perdata. “Bukan soal kalah atau menang,” katanya lirih, “tapi ketika hakim tersenyum kepada lawan saya yang jelas-jelas salah, saya merasa hukum hanyalah barang dagangan.” Kalimat itu menampar keras, lebih dalam daripada berita korupsi yang lalu lalang di televisi.
Ibn Taimiyah pernah menulis:
فَإِنَّ الْحَاكِمَ إِذَا قَصَدَ الْحَقَّ وَبَذَلَ جُهْدَهُ أَجْرَاهُ اللَّهُ عَلَى لِسَانِهِ
“Sesungguhnya apabila seorang hakim berniat menegakkan kebenaran dan mencurahkan seluruh kesungguhannya, maka Allah akan menjadikan kebenaran itu keluar dari lisannya.”
Kutipan ini menegaskan bahwa nurani hakim adalah cahaya yang tak boleh dipadamkan oleh kepentingan.
Antara Suap dan Doa yang Tertahan
Fenomena suap di peradilan bukan hanya terjadi di masa kini. Ibn Taimiyah dalam al-Siyāsah al-Syar‘iyyah juga menyinggung bagaimana harta dapat mengaburkan pandangan hakim.
وَإِذَا أَخَذَ الْحَاكِمُ الرِّشْوَةَ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Apabila seorang hakim mengambil suap, maka sungguh ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Kata khianat di sini menggema begitu keras. Betapa suap bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan spiritual.
Dialog sederhana pernah saya dengar dari seorang ibu yang anaknya ditahan karena kasus kecil:
“Bu, kita bisa cari jalan dengan uang,” kata seorang calo.
“Tapi apakah uang bisa menebus doa saya yang terhenti di langit?” jawab si ibu.
Kalimat itu menohok: doa yang terhenti, lantaran hukum diperdagangkan.
Hukum Tuhan dan Bayangan Duniawi
Sejarah menunjukkan, ketika hukum hanya dipandang sebagai produk manusia, ia mudah digoyahkan oleh kekuasaan. Ibn Taimiyah menulis:
إِنَّ الْعَدْلَ أَسَاسُ الْمُلْكِ وَبِهِ يَقُومُ النَّاسُ
“Sesungguhnya keadilan adalah fondasi kekuasaan, dan dengannya manusia dapat berdiri tegak.”
Jika kursi hakim kehilangan keadilan, negara pun kehilangan sendi. Maka, hukum Tuhan hadir sebagai penuntun. Tidak cukup hukum dibuat rapi dalam kitab undang-undang, ia harus dirawat dengan kesadaran spiritual, bahwa setiap putusan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Suara Rakyat, Teriak Nurani
Dalam riset Transparency International (2022), indeks persepsi korupsi di sektor peradilan masih menjadi salah satu sorotan serius di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kepercayaan publik terhadap hakim kerap turun, bahkan lebih rendah dibandingkan lembaga lain.
Namun, rakyat masih percaya bahwa nurani bisa menang. Mereka berharap ada hakim yang berani mengetuk palu bukan untuk kepentingan kekuasaan, melainkan demi wajah kebenaran.
Ibn Taimiyah kembali mengingatkan:
وَمَنْ حَكَمَ بَيْنَ النَّاسِ بِغَيْرِ الْحَقِّ فَقَدْ أَظْلَمَهُمْ
“Barangsiapa memutuskan perkara di antara manusia dengan selain kebenaran, maka sungguh ia telah menzalimi mereka.”
Kezaliman hakim bukan hanya melukai yang kalah, tetapi juga meracuni generasi yang tumbuh dengan rasa putus asa terhadap hukum.
Renungan Singkat
- Kursi hakim adalah amanah, bukan panggung kepentingan.
- Suap bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan kepada Allah.
- Keadilan adalah tiang penyangga negara; runtuh ia, runtuh pula kepercayaan rakyat.
Di akhir setiap sidang, palu hakim mengetuk meja, mengumumkan putusan. Namun, jauh di balik ketukan itu, ada doa rakyat kecil yang terpanjat, ada harapan agar kursi hakim benar-benar menjadi kursi nurani, bukan kursi dagang.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُكَّامَنَا أَهْلَ عَدْلٍ وَرَحْمَةٍ، وَلَا تَجْعَلْهُمْ أَهْلَ جَوْرٍ وَخِيَانَةٍ
“Ya Allah, jadikanlah para hakim kami sebagai pemimpin yang adil dan penuh rahmat, dan janganlah Engkau jadikan mereka sebagai pelaku zalim dan pengkhianat.”
Apakah kita masih percaya bahwa palu hakim suatu hari akan benar-benar mengetuk dengan suara keadilan, bukan gema kepentingan?
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
