Beranda » Berita » Tentara Rakyat atau Tentara Kekuasaan?

Tentara Rakyat atau Tentara Kekuasaan?

Ilustrasi tentara rakyat atau tentara kekuasaan, prajurit di persimpangan pilihan.
Ilustrasi tentara di persimpangan pilihan: menjaga rakyat atau menjaga kekuasaan.

Frasa tentara rakyat kerap digaungkan sebagai identitas mulia. Namun, dalam sejarah, tentara juga pernah berubah menjadi tentara kekuasaan—alat penguasa yang melindungi kursi, bukan rakyat.

Aku pernah berbincang dengan seorang kakek veteran di tepi alun-alun kota. Ia menatap bendera merah putih dengan mata berkaca-kaca:
“Nak, dulu kami angkat senjata bukan demi jabatan, tapi demi tanah air. Tentara itu harus jadi perisai rakyat, bukan pagar istana.”
Kata-kata itu menusuk, sebab di hadapan kita kini, sering kali tentara tampak lebih dekat dengan kekuasaan daripada penderitaan rakyat kecil.

Ibn Taimiyah dalam al-Siyāsah al-Syar‘iyyah mengingatkan, inti keberadaan kekuatan militer adalah melindungi agama dan manusia, bukan menjadi pedang penguasa.

إِنَّ الْجُنْدَ إِنَّمَا وُضِعُوا لِنُصْرَةِ الدِّينِ وَحِفْظِ النَّاسِ، فَإِذَا صَارُوا سُلْطَانًا عَلَى الرَّعِيَّةِ فَسَدَتِ الدُّنْيَا وَالدِّينُ

“Sesungguhnya tentara ditetapkan untuk menolong agama dan menjaga manusia. Jika mereka berubah menjadi penguasa atas rakyat, maka rusaklah dunia dan agama.” (al-Siyāsah al-Syar‘iyyah)

Dari Utsman ke Ali: Dinamika Politik dan Etika Kekuasaan di Era Khulafaur Rasyidin

Pedang yang seharusnya menebar keadilan

Tentara dalam pandangan syariat adalah amanah. Mereka bukan sekadar barisan bersenjata, melainkan penjaga keadilan. Tanpa keadilan, tentara bisa berubah menjadi momok menakutkan.

Al-Qur’an pun mengingatkan:

وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, agar dengan itu kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (QS. al-Anfāl: 60)

Ayat ini menegaskan: kekuatan dipersiapkan untuk melawan musuh, bukan menakuti rakyat sendiri. Ibn Taimiyah menulis:

Adab Membaca Al-Qur’an, Zikir dan Shalawat: Menghidupkan Masjid dengan Ilmu Sunnah dan Politik Islam

الْقُوَّةُ فِي الْإِسْلَامِ لَا تَكُونُ إِلَّا مَعَ الْعَدْلِ، فَإِذَا فُقِدَ الْعَدْلُ كَانَتْ قُوَّةً لِلظُّلْمِ

“Kekuatan dalam Islam tidak ada artinya kecuali bersama keadilan. Jika keadilan hilang, maka ia hanyalah kekuatan bagi kezaliman.” (al-Siyāsah al-Syar‘iyyah)

Rakyat yang terlindungi atau rakyat yang terintimidasi

Di desa kecil yang pernah kukunjungi, seorang ibu penjual sayur berkata lirih saat melihat iring-iringan militer melewati jalan:
“Kami ingin tentara hadir kalau ada banjir, kalau ada hama, bukan hanya saat kampanye atau konflik politik.”

Kalimat itu adalah jerit hati banyak rakyat. Mereka butuh tentara yang menyatu dengan masyarakat, bukan yang berdiri jauh, kaku, dan hanya tunduk pada komando kekuasaan.

Ibn Taimiyah mengingatkan hal serupa:

Dinamika Politik Islam Iran: Dari Khilafah Syiah ke Negara Modern

إِذَا صَارَ الْجُنْدُ يَأْخُذُونَ الْأَمْوَالَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَظْلِمُونَ النَّاسَ فَهُمْ أَعْدَاءُ الْأُمَّةِ وَلَيْسُوا حُمَاتَهَا

“Jika tentara mengambil harta tanpa hak dan menzalimi manusia, maka mereka adalah musuh umat, bukan pelindungnya.” (al-Siyāsah al-Syar‘iyyah)

Tentara sejati adalah mereka yang dicintai rakyat, bukan ditakuti rakyat. Keberanian mereka bukan untuk menindas, melainkan menjaga.

Jejak sejarah yang memberi peringatan

Banyak peradaban runtuh bukan karena lemah senjata, melainkan karena tentara berubah menjadi alat tirani. Romawi goyah ketika prajuritnya lebih setia pada kaisar daripada rakyat. Sejumlah kerajaan Islam pun runtuh ketika pasukan lebih sibuk menjaga istana daripada membela kaum lemah.

Riset sosiologi politik modern menunjukkan, militer yang dekat dengan rakyat memperpanjang umur demokrasi, sementara militer yang berpihak pada kekuasaan justru mempercepat krisis legitimasi (Nordlinger, Soldiers in Politics, 1977).

Langkah praktis menjaga tentara tetap bersama rakyat

  • Membentuk sistem akuntabilitas militer yang transparan.
  • Menanamkan pendidikan iman dan akhlak dalam jiwa prajurit.
  • Menjadikan tentara sahabat rakyat melalui program sosial, bukan sekadar alat tempur.
  • Menegakkan hukum militer yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
  • Menjaga agar loyalitas tertinggi tentara tetap kepada bangsa dan Allah, bukan pada kursi penguasa.

Tentara rakyat atau tentara kekuasaan? Pilihan itu tidak hanya ada di tangan pemimpin, tetapi juga di hati setiap prajurit.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ جُنُودَ بِلَادِنَا جُنُودًا لِلْحَقِّ وَالْعَدْلِ، لَا جُنُودًا لِلظُّلْمِ وَالطُّغْيَانِ.

Mungkin kita perlu bertanya lagi dengan jujur: Apakah tentara kita benar-benar berdiri di samping rakyat, atau hanya berdiri di balik bayang-bayang kekuasaan?

 

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement