Sejarah resmi sering menyisakan ruang kosong. Dari ruang itulah legenda lahir, berbisik dari mulut ke mulut. Salah satunya adalah kisah Nyimas Utari, seorang perempuan Mataram yang melangkah di antara cinta, intrik, dan keberanian.
Orang mengenal Utari sebagai keponakan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namun, ia tumbuh bukan hanya sebagai darah biru keraton. Sejak kecil, ia belajar menembang dan membaca naskah, sementara gurunya melatihnya untuk menyamar, membaca jejak, serta menahan rasa takut. Karena itu, Sultan melihat bakatnya lalu menugaskan Utari sebagai telik sandi—mata yang beroperasi dalam gelap.
Mataram, Batavia, dan Titik Genting 1629
Pada 1628 dan 1629, Mataram dua kali menggempur Batavia, pusat VOC. Serangan pertama gagal. Serangan kedua pun berlangsung sengit, namun Sultan segera menyadari bahwa meriam musuh tidak bisa dihadapi dengan pedang semata. Oleh sebab itu, ia memilih strategi baru: memutus kepala lawan.
Sejak saat itu, Utari masuk dalam lingkaran rencana. Sultan menugaskannya mendekati Jan Pieterszoon Coen, gubernur jenderal VOC yang menjadi otak perlawanan. Menurut babad, Utari lalu menyamar sebagai sinden di klub perwira VOC. Dengan suara merdu, ia membuka pintu kepercayaan para lawan, sementara tembangnya mengalihkan kecurigaan.
Mahmudin, Cinta, dan Tugas
Di Batavia, Utari tidak bergerak sendirian. Ia bertemu Mahmudin—atau, menurut versi lain, Syekh Auliamudin—seorang intelijen dari Aceh. Mereka kemudian menikah. Ada yang menilai pernikahan itu hanya strategi, tetapi ada pula yang percaya bahwa cinta tumbuh di tengah bahaya. Apa pun sebabnya, malam-malam mereka dipenuhi bisik taktik, bukan janji manis.
“Jika kita gagal, jangan mati sia-sia,” ujar Mahmudin.
Utari tersenyum tipis. “Kalau aku mati, itu tanda aku pernah memilih dengan berani.”
Racun dalam Cawan, Riuh di Batavia
Pada September 1629, kepungan Mataram membuat Batavia tegang. Dalam sebuah jamuan, Utari berhasil menyusupkan racun arsenik ke dalam cawan Coen. Sang gubernur meneguknya tanpa curiga. Tidak lama kemudian, tubuhnya melemah lalu napasnya terhenti.
Sejak peristiwa itu, legenda berkembang dengan dua wajah. Versi babad menuturkan bahwa Utari memenggal kepala Coen dan mengirimkannya ke Mataram sebagai bukti. Sebaliknya, arsip kolonial menuliskan Coen wafat karena wabah penyakit. Perbedaan itu justru menambah misteri, sementara rakyat memilih merayakan kecerdikan seorang telik sandi.
Akhir yang Sunyi di Keramat, Tapos
Kisah lisan menambahkan babak tragis. Dalam upaya melarikan diri, Utari terkena tembakan. Mahmudin bersama Wong Agung Aceh membawa jenazahnya menembus hutan dan rawa, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah desa sunyi bernama Keramat, Tapos. Di sanalah Utari beristirahat untuk selamanya. Hingga kini, sebagian masyarakat percaya makam itu masih bisa diziarahi, meskipun perdebatan sejarah tetap berlangsung.
Legenda, Arsip, dan Ingatan Kolektif
Pertanyaan besar kemudian muncul: apakah kisah ini nyata atau sekadar dongeng perlawanan? Sejarawan berbeda pendapat. Arsip kolonial cenderung singkat dan dingin. Babad Jawa justru menyajikan versi hangat sekaligus puitis. Pada akhirnya, nama Utari berdiri seperti bayangan senja—tidak sepenuhnya terang, tetapi juga tak pernah hilang.
Terlepas dari perdebatan itu, pesan moralnya tetap jelas. Perempuan memiliki ruang dalam sejarah perjuangan, bukan sekadar penonton. Keberanian kadang hadir lewat suara lembut, bahkan dari tembang sederhana, tetapi tekad di baliknya sebesar api yang tak mudah padam.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
