SURAU.CO. Nabi Muhammad Saw adalah sosok sentral dalam sejarah peradaban manusia. Beliau adalah nabi terakhir pembawa risalah Islam yang mampu mengubah dunia, dari masyarakat Arab yang penuh konflik menjadi peradaban yang berlandaskan tauhid dan keadilan. Namun, pandangan terhadap Nabi Muhammad Saw tidak selalu seragam. Di kalangan orientalis, terdapat beragam penilaian.
Orientalis adalah sarjana Barat yang meneliti dunia Timur. Penilaian ini mulai dari pengakuan tulus atas kebesaran beliau hingga tuduhan miring yang merendahkan risalahnya.
Memahami Siapa Orientalis Itu
Istilah orientalis berasal dari kata “orient” (Timur) yang kemudian diartikan sebagai para sarjana atau peneliti Barat yang mendalami bahasa, budaya, agama, dan sejarah dunia Timur. Bidang kajian mereka disebut orientalisme. Dalam konteks Islam, orientalis adalah cendekiawan Barat yang meneliti al-Qur’an, hadis, sirah Nabi Muhammad Saw, dan peradaban Islam.
Sebagian orientalis melakukan kajian dengan sikap ilmiah. Sementara itu, sebagian yang lain membawa prasangka. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sejarah hubungan antara Islam dan Barat. Oleh karena itu, pandangan mereka terhadap Nabi Muhammad Saw pun sangat beragam.
Orientalis yang Mengkritik Nabi Muhammad Saw
Beberapa orientalis memiliki pandangan yang sangat kritis terhadap Nabi Muhammad Saw. Salah satunya adalah William Muir (1819–1905), seorang sarjana asal Skotlandia. Dalam bukunya Life of Mahomet, ia menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh politik yang ambisius. Ia berpendapat bahwa Islam bukanlah agama wahyu, melainkan hasil ciptaan Nabi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan. Pandangan ini jelas terpengaruh cara berpikir rasional Barat yang menolak aspek spiritual kerasulan.
Pandangan serupa muncul dari Washington Irving (1783–1859), penulis asal Amerika. Dalam karyanya dalam karya Life of Mahomet (1849) serta kelanjutannya Mahomet and His Successors (1850), Washington Irving memang menggambarkan Nabi Muhammad Saw dengan rasa hormat terhadap kecerdasan, moral, dan kesungguhan beliau. Ia menyebut beliau memiliki “intellectual qualities … of an extraordinary kind” (kecerdasan luar biasa)—cepat tangkap, ingatan tajam, imajinasi hidup, dan bakat inventif—yang berkembang meski dengan sedikit pendidikan formal
Orientalis yang Menilai Nabi secara Historis-Kritis
Ada pula orientalis yang mencoba bersikap lebih objektif. W. Montgomery Watt (1909–2006), profesor kajian Islam asal Inggris, menulis dua karya monumental: Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina. Ia menggambarkan Nabi sebagai sosok yang tulus, berintegritas, dan berkepribadian kuat. Watt menolak tuduhan bahwa Nabi seorang penipu. Namun, ia tetap menafsirkan kerasulan Nabi dalam kerangka sejarah semata. Ia tidak menganggapnya sebagai wahyu ilahi.
Pendekatan ini menunjukkan adanya usaha memahami Nabi Muhammad Saw dengan lebih adil. Walaupun demikian, usaha ini terbatas oleh sudut pandang akademik Barat.
Orientalis yang Mengagumi Nabi Muhammad Saw
Menariknya, banyak orientalis dan sejarawan Barat yang justru sangat mengagumi Nabi Muhammad Saw. Misalnya, Michael H. Hart (1932–2022) dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. Ia menempatkan Nabi Muhammad Saw di urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah. Hart menilai bahwa Nabi berhasil memadukan peran spiritual dan duniawi. Beliau memimpin umat sekaligus membangun peradaban.
Kekaguman serupa disampaikan oleh Alphonse de Lamartine (1790–1869), seorang sastrawan Prancis. Dalam Histoire de la Turquie, ia menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai “filosof, orator, rasul, legislator, pejuang, penakluk ide, dan pembaharu keyakinan.” Ia menilai tidak ada manusia yang bisa menyamai kebesaran Nabi.
Edward Gibbon (1737–1794), sejarawan Inggris dengan karya besarnya The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, juga menuliskan pujian. Ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah sosok sederhana, kuat menahan hawa nafsu, dan memimpin umat dengan keteladanan. Ia menolak tuduhan bahwa Islam disebarkan dengan pedang.
Di era modern, Karen Armstrong (1944–sekarang), penulis Inggris yang banyak menulis tentang agama, menegaskan bahwa citra buruk Nabi Muhammad Saw di Barat lahir dari prasangka sejarah. Dalam bukunya Muhammad: A Prophet for Our Time, Armstrong menggambarkan beliau sebagai sosok penuh kasih sayang, pembela kaum lemah, dan pemimpin visioner.
Tanggapan Umat Islam terhadap Pandangan Orientalis
Bagi umat Islam, beragam pandangan orientalis tersebut tidak menggoyahkan keyakinan. Kita meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt yang membawa risalah terakhir untuk seluruh umat manusia. Hal ini sangat tegas dalam al-Qur’an (QS. al-Ahzab: 21). Dalam ayat tersebut, beliau adalah uswah hasanah, teladan terbaik bagi orang beriman.
Kritik orientalis dapat menjadi bahan refleksi. Namun, kritik tersebut tidak boleh melemahkan iman. Justru, kekaguman sebagian orientalis menunjukkan bahwa kebenaran tetap bersinar. Hal ini terjadi meski dilihat dari luar Islam. Tugas kita adalah meluruskan kesalahpahaman dengan kajian yang jujur. Selain itu, kita juga harus menghadirkan akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Nabi Muhammad Saw sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin
Pandangan orientalis tentang Nabi Muhammad Saw sangat beragam. Pandangan ini mulai dari tuduhan ambisi politik hingga pengakuan sebagai tokoh terbesar dalam sejarah. Perbedaan ini menunjukkan betapa besar pengaruh Nabi terhadap dunia. Bagi umat Islam, sumber kebenaran kita adalah al-Qur’an, hadis, dan sirah yang autentik. Dengan berpegang pada sumber-sumber tersebut, kita meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw bukan sekadar tokoh sejarah tetapi menjadi rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
