Indonesia itu lautan, dan lautan bukan sekadar hamparan air asin yang biru. Ia adalah metafora hidup: luas, dalam, kadang tenang, kadang bergelombang. Kita semua, manusia yang hidup di negeri ini, sejatinya sedang belajar menjadi perahu. Perahu yang kuat, perahu yang tahan goyah, perahu yang setia mengantar penumpangnya menuju dermaga takdir.
Ketika pandemi Covid kemarin menghantam, kita seperti perahu kecil dihempas badai besar. Banyak yang terbalik, ada yang karam, ada pula yang justru menemukan arah baru. Ibn ‘Arabi dalam *al-Futūḥāt al-Makkiyyah* pernah mengingatkan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah lautan ujian, dan manusia harus belajar menavigasi diri agar tidak hanyut.
اَلدُّنْيَا بَحْرٌ عَظِيْمٌ مَوْجُهُ الْفِتَنُ وَسَفِيْنَتُهَا التَّقْوَى وَرُبَّانُهَا التَّوَكُّلُ عَلَى اللهِ
“Dunia ini adalah lautan besar, ombaknya adalah fitnah, kapalnya adalah takwa, dan nakhodanya adalah tawakal kepada Allah.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Juz 3)
Ombak yang Menguji Kesabaran
Di kampung pesisir, saya pernah duduk bersama seorang nelayan tua. Ia berkata sambil menatap laut senja:
“Mas, hidup itu sama kayak ngelayarin laut. Bukan soal melawan ombak, tapi soal ngikutin arah angin dan doa.”
Kalimat sederhana itu, entah kenapa, terasa lebih dalam dari banyak buku filsafat. Karena faktanya, kehidupan kita hari-hari ini penuh ombak: ekonomi yang timpang, politik yang gaduh, teknologi yang membuat kita makin terasing, hingga bencana alam yang silih berganti.
Al-Qur’an sendiri mengingatkan:
وَهُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
“Dialah yang menjalankan kamu di darat dan di laut.” (QS. Yunus: 22)
Artinya, kita tidak pernah benar-benar sendirian di atas perahu. Ada Yang Maha Menuntun arah.
Kapal yang Retak, Jiwa yang Lelah
Seringkali kita merasa kapal kita rapuh. Utang menumpuk, keluarga renggang, kesehatan melemah, pekerjaan hilang. Ibn ‘Arabi menulis:
مَنْ لَمْ يَعْرِفْ نَفْسَهُ كَانَ كَمَنْ يَرْكَبُ بَحْرًا بِغَيْرِ دَلِيْلٍ
“Siapa yang tidak mengenal dirinya, ia seperti orang berlayar di laut tanpa penunjuk jalan.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Juz 2)
Di sinilah pentingnya perjalanan batin. Bukan sekadar menjaga kapal fisik kita (makan sehat, bekerja giat), tapi juga memastikan layar hati tidak bolong, dan kompas jiwa tetap menuju Allah.
“Kenapa aku merasa hampa?”
“Karena kamu melupakan arah.”
Gelombang Sosial yang Mengguncang
Kita hidup di negeri yang besar, tapi juga penuh riuh. Media sosial menjadi samudera lain: gelombang opini, badai komentar, tsunami gosip. Tidak sedikit yang tenggelam dalam lautan digital.
Riset dari We Are Social (2024) mencatat orang Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di media sosial. Itu seperti berlayar tanpa henti, tapi sering lupa tujuan.
Dalam al-Futūḥāt, Ibn ‘Arabi menulis:
اَلْعَالِمُ بِغَيْرِ الْحَقِيْقَةِ كَبَحَّارٍ يَسِيْرُ عَلَى مَوْجٍ وَهْمِيٍّ
“Orang yang berilmu tanpa memahami hakikat, ibarat pelaut yang berlayar di atas ombak ilusi.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Juz 4)
Bukankah kita sedang melihat banyak kapal tenggelam karena lebih sibuk mengejar popularitas ketimbang kebenaran?
Apakah kita sedang menjadi perahu yang teguh di tengah lautan hidup, ataukah kita hanya sepotong kayu yang hanyut tanpa arah?
Jangkar Kesabaran dan Layar Syukur
Setiap perahu butuh jangkar. Dalam hidup, jangkar itu adalah kesabaran. Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلصَّبْرُ ضِيَاءٌ
“Kesabaran adalah cahaya.” (HR. Muslim)
Jangkar menahan kita agar tidak hanyut. Sedangkan layar kita adalah syukur: semakin kita bentangkan syukur, semakin cepat angin rahmat mendorong kita.
Maka dalam perjalanan ini, kita butuh dua-duanya: sabar dan syukur.
Menjadi Perahu yang Kuat
Jaga lambung perahu (hati): luangkan waktu untuk dzikir dan doa.
Periksa layar (syukur): catat minimal tiga hal yang patut disyukuri setiap hari.
Cari dermaga sementara (komunitas baik): jangan berlayar sendirian, butuh sahabat yang saling mengingatkan.
Baca peta (Al-Qur’an): ia penunjuk arah agar tidak tersesat di lautan dunia.
Perahu yang Kembali ke Dermaga
Akhirnya, semua perahu akan kembali ke dermaga abadi: Allah. Dunia hanyalah samudera yang sementara, dan tugas kita adalah menjaga agar kapal kita tidak karam. Ibn ‘Arabi menutupnya dengan indah:
مَنْ جَعَلَ اللهَ قِبْلَتَهُ نَجَا فِيْ بَحْرِ الدُّنْيَا وَوَصَلَ إِلَى بَرِّ السَّلاَمِ
“Siapa yang menjadikan Allah sebagai kiblatnya, ia akan selamat di lautan dunia dan sampai ke pantai keselamatan.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Juz 5)
Maka, marilah kita bertanya pada diri masing-masing: sudahkah perahu kita menghadap kiblat, atau masih terombang-ambing di tengah gelombang?
اللهم اجعلنا سفينة صالحة تبلغنا برّ السلام
* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
