Opinion
Beranda » Berita » merantau:%20Perjalanan%20Batin%20Sama%20Pentingnya%20dengan%20Ongkos%20Bus

merantau:%20Perjalanan%20Batin%20Sama%20Pentingnya%20dengan%20Ongkos%20Bus

Ilustrasi perantau di bus malam sebagai simbol perjalanan batin
Ilustrasi perjalanan bus malam yang melambangkan merantau lahiriah sekaligus batiniah.

Merantau selalu menjadi cerita panjang bagi banyak orang Indonesia. Ongkos bus, kereta, atau pesawat jadi pengingat bahwa setiap perjalanan butuh biaya. Namun, Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyah mengingatkan: ongkos lahir hanyalah separuh perjalanan, sebab ada ongkos batin yang tak kalah penting. Itulah perjalanan hati yang tak bisa dibayar dengan tiket, melainkan dengan kesabaran, doa, dan kerendahan diri.

اَلسَّفَرُ إِلَى اللهِ أَغْلَى مِنْ كُلِّ سَفَرٍ

“Perjalanan menuju Allah lebih berharga daripada setiap perjalanan lainnya.”

Kalimat Ibn ‘Arabi ini menyiratkan bahwa merantau bukan sekadar meninggalkan kampung halaman, melainkan membuka diri untuk dituntun menuju makna terdalam kehidupan.

Jalan berdebu dan doa yang tak pernah padam

Saya masih ingat pertama kali merantau ke kota. Ongkos bus dikumpulkan dari hasil jualan ibu di pasar, ayah mengantarkan sampai terminal. Di tengah riuh suara klakson, beliau berpesan:
“Jangan cuma cari makan, Nak. Carilah ilmu, carilah hati.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Kalimat itu sederhana, tapi menancap dalam. Sejak saat itu saya sadar, perjalanan fisik selalu berkelindan dengan perjalanan batin.

Al-Qur’an pun menyinggung hakikat perjalanan manusia:

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولًۭا فَٱمۡشُواْ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ﴾ (الملك: ١٥)

“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya. Kepada-Nya lah kalian akan kembali.”

Ayat ini menegaskan: merantau memang soal mencari rezeki, tetapi arah akhirnya tetap sama: kembali kepada Allah.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Kota besar dan ujian yang menyamar sebagai peluang

Di kota, merantau berarti belajar dari ujian. Listrik padam, kos sempit, pekerjaan belum pasti, hingga perut keroncongan. Namun, justru dalam kepayahan itulah banyak orang menemukan dirinya.

Sebuah riset sosiologi (International Journal of Intercultural Relations, 2019) menyebutkan bahwa migrasi meningkatkan resiliensi psikologis karena orang belajar beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun Ibn ‘Arabi menambahkan lapisan spiritual:

مَن سَافَرَ بِنَفْسِهِ ضَاعَ، وَمَن سَافَرَ بِرَبِّهِ وَجَدَ

“Siapa yang berjalan dengan dirinya sendiri akan tersesat, dan siapa yang berjalan bersama Tuhannya akan menemukan jalan.”

Kalimat ini mengingatkan bahwa kesuksesan perantau tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan, tapi juga oleh kesadaran batin yang terus terhubung dengan Allah.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Pertemuan yang tak selalu kebetulan

Pernah suatu malam, di halte bus, saya berbincang dengan seorang bapak tua yang merantau sejak muda. Rambutnya memutih, bajunya sederhana, namun kata-katanya meneduhkan:
“Kita ini sama-sama musafir, Dik. Bedanya, ada yang pulang dengan oleh-oleh dunia, ada yang pulang dengan oleh-oleh akhirat.”

Ucapannya seperti menampar. Saya teringat sabda Nabi ﷺ:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang musafir.” (HR. Bukhari)

Hadits ini selaras dengan jalan hidup perantau: selalu bergerak, tapi sadar bahwa dunia hanyalah terminal sementara.

Menyulam kembali makna pulang

Pada akhirnya, setiap merantau melahirkan rindu: rindu orang tua, kampung halaman, dan ketenangan yang tak bisa dibeli di pusat perbelanjaan. Ibn ‘Arabi menulis tentang hakikat pulang:

الرُّجُوعُ إِلَى الْأَصْلِ حَقِيقَةُ الْإِنْسَانِ وَغَايَةُ وُجُودِهِ

“Kembali ke asal adalah hakikat manusia dan tujuan keberadaannya.”

Kampung halaman dunia hanyalah isyarat kecil dari kampung akhirat. Merantau mengingatkan bahwa kita semua sedang mudik besar: pulang kepada Allah.

Langkah Praktis

Sisihkan ongkos batin dalam setiap perjalanan: doa, zikir, dan niat lurus.
Anggap rindu pada kampung sebagai latihan rindu pada surga.
Jadikan setiap pertemuan dalam perantauan sebagai jalan untuk belajar mengenal Allah.

Ongkos terakhir yang harus disiapkan

Merantau adalah jalan panjang yang menuntut ongkos lahir dan ongkos batin. Tiket bus bisa dibayar dengan uang, tapi tiket pulang ke Allah hanya bisa dibayar dengan hati yang bersih.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ سَفَرَنَا هَذَا سَفَرًا مُبَارَكًا وَعَوْدًا إِلَيْكَ جَمِيلًا

“Ya Allah, jadikanlah perjalanan kami ini perjalanan yang penuh berkah, dan kembalinya kami kepada-Mu kembalinya yang indah.”

Maka, siapkah kita menyiapkan ongkos terakhir itu?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement