Opinion
Beranda » Berita » Kampung Halaman: Surga Kecil yang Allah Taro di Bumi

Kampung Halaman: Surga Kecil yang Allah Taro di Bumi

Kampung halaman sebagai surga kecil di bumi
Suasana kampung halaman sebagai simbol ketenangan jiwa dan rindu pada asal kehidupan.

Kampung halaman selalu punya ruang khusus dalam hati manusia. Kata “pulang” terasa begitu sakral, seakan menjadi doa panjang yang berbisik dalam setiap perantauan. Dalam konteks spiritual, kampung halaman tidak hanya berarti tanah kelahiran, melainkan juga simbol fitrah: tempat asal manusia sebelum diturunkan ke bumi. Bahkan, Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyah menulis bahwa hakikat manusia adalah perantau yang suatu saat pasti kembali pada asalnya.

اَلرَّاجِعُ إِلَى أَصْلِهِ يَجِدُ السَّكِينَةَ فِي طَرِيقِهِ

“Orang yang kembali kepada asalnya akan menemukan ketenangan di sepanjang perjalanannya.”

Kalimat ini seolah mengajarkan bahwa kampung halaman—baik secara jasmani maupun ruhani—adalah pintu menuju ketenangan.

Jalan tanah yang menyimpan doa ibu

Saya masih ingat jalan tanah di kampung yang becek bila hujan. Sepatu sekolah penuh lumpur, tapi hati saya penuh tawa. Setiap kali pulang dari pasar, ibu menyeka peluh di wajah sambil berkata pelan:
“Rezeki itu seperti tanah, Nak. Kadang licin, kadang keras, tapi kalau sabar, pasti bisa dilalui.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Dialog sederhana itu menjadi semacam zikir. Kini, ketika hidup di kota penuh macet dan gedung menjulang, saya rindu jalan tanah itu—rindu kesederhanaan yang justru melahirkan keteguhan.

Al-Qur’an mengingatkan kita:

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۢ بُيُوتِكُمْ سَكَنًۭا

“Allah menjadikan bagi kalian rumah-rumah sebagai tempat tinggal (yang menenangkan).” (QS. An-Nahl: 80)

Rumah tidak hanya bangunan, melainkan juga rasa aman yang kita bawa dari kampung halaman.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Rindu yang menyapa di tengah kota

Fenomena sosial hari ini menunjukkan banyak orang mudik lebaran dengan wajah haru. Tiket kereta habis, jalan tol padat, bandara penuh. Semua itu bukan semata-mata demi liburan, melainkan demi sesuatu yang tak bisa dibeli: pelukan orang tua, aroma sawah, suara adzan dari surau kecil.

Sebuah riset psikologi (Journal of Environmental Psychology, 2017) menyebut bahwa memori tempat asal membentuk daya tahan emosional seseorang. Tidak heran, banyak perantau yang merasa lebih kuat menghadapi stres kota setelah “mengisi ulang” batin di kampung halaman.

Ibn ‘Arabi pernah menulis:

مَن عَرَفَ بَلَدَهُ الْأَوَّلَ لَمْ يَغْتَرِبْ فِي الدُّنْيَا

“Siapa yang mengenal negeri asalnya, ia takkan pernah benar-benar merasa asing di dunia.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Kalimat itu terasa nyata ketika kita duduk di teras rumah nenek, menatap langit yang sama dengan masa kecil kita.

Pulang bukan sekadar perjalanan fisik

Kampung halaman seringkali menegur kita: pulanglah, bukan hanya secara jasmani, tapi juga ruhani. Betapa banyak orang pulang mudik, namun hatinya masih jauh dari Allah. Ibn ‘Arabi menulis tentang hakikat perjalanan jiwa:

إِنَّ السَّفَرَ إِلَى اللهِ هُوَ السَّفَرُ الْأَصْلِيُّ وَمَا سِوَاهُ تَبَعٌ لَهُ

“Sesungguhnya perjalanan menuju Allah adalah perjalanan yang sejati, sementara selain itu hanyalah pengiringnya.”

Maka, kampung halaman dunia hanyalah pengingat dari kampung abadi: surga. Seperti yang disebut dalam hadits:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)

Kampung halaman mengajarkan kerendahan hati.
Pulang ke rumah adalah latihan pulang ke Allah.
Rindu kampung adalah cermin rindu surga.

Satu lagi alasan untuk bersyukur

Di antara keramaian kota, kampung halaman mengajarkan kesederhanaan. Di antara kegelisahan modern, ia menawarkan kedamaian. Maka, pulanglah sesekali. Bukan hanya menjemput rindu pada ibu bapak, tapi juga untuk mengingat bahwa dunia ini hanyalah persinggahan.

Ibn ‘Arabi menutup salah satu bagian Futūḥāt dengan kalimat:

الْقَلْبُ إِذَا سَكَنَ فِي أَصْلِهِ رَآهُ اللهُ مَقَرًّا لِنُورِهِ

“Hati yang kembali pada asalnya akan Allah jadikan sebagai tempat bersemayam cahaya-Nya.”

Bukankah itu kampung halaman sejati yang kita rindukan?

Pulang yang tak pernah selesai

Kampung halaman bukan sekadar titik di peta, tapi juga ruang batin yang selalu mengajak kita pulang. Semoga kita tidak hanya kembali ke rumah orang tua, tetapi juga ke rumah jiwa: ketenangan dalam dzikir kepada Allah.

اللَّهُمَّ أَعِدْنَا إِلَيْكَ عَوْدًا جَمِيلًا

“Ya Allah, kembalikanlah kami kepada-Mu dengan kembalinya yang indah.”

Apakah kita siap menempuh perjalanan panjang, bukan hanya mudik di hari raya, tetapi mudik terakhir: pulang kepada Allah?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement