Opinion
Beranda » Berita » Covid Kemarin: Alarm Tuhan yang Banyak Kita Matikan

Covid Kemarin: Alarm Tuhan yang Banyak Kita Matikan

Jam alarm di jalan kosong pandemi Covid
Ilustrasi jam weker di tengah jalan kosong pandemi, simbol alarm Tuhan yang sering kita matikan.

Di tengah sejarah manusia, Covid-19 bukan hanya sebuah pandemi, tetapi juga cermin besar yang dipasang Allah di depan wajah kita. Banyak orang menyebutnya bencana global, namun Ibn ‘Arabi dalam al-Futūḥāt al-Makkiyah seakan sudah meletakkan kaca mata: setiap peristiwa besar sejatinya adalah “tajalli”—penyingkapan wajah Allah dalam bentuk yang mungkin kita tidak sukai. Covid kemarin adalah alarm, tanda pengingat, tapi banyak dari kita buru-buru menekan tombol snooze.

Aku sendiri masih ingat, suatu sore jalan raya mendadak sepi. Warung kopi yang biasa ramai, kursi-kursinya kosong. Ada rasa takut, ada rasa rindu. Anehnya, dalam kesunyian itu aku melihat wajah-wajah manusia yang biasanya tergesa, tiba-tiba belajar memperlambat langkah. Namun, begitu sirene pandemi mulai reda, kita berlari lagi, lupa pada pelajaran yang baru saja Allah titipkan.

Sunyi yang Menyingkapkan Suara Batin

Ibn ‘Arabi menulis dalam al-Futūḥāt:

 كُلُّ مَا يَجْرِي فِي الْكَوْنِ إِنَّمَا هُوَ تَجَلٍّ مِنْ تَجَلِّيَاتِ الْحَقِّ

“Segala yang terjadi di alam semesta, sejatinya adalah tajalli (penampakan) dari Allah Yang Maha Hak.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Pandemi mengajarkan kita tentang kesementaraan. Tiba-tiba, jabatan tidak bisa menjauhkan kita dari virus, uang tidak bisa membeli napas yang sesak. Masjid sepi, pasar tutup, sekolah berpindah ke layar. Sunyi memaksa kita mendengar suara batin sendiri.

Seorang teman berkata kepadaku:
“Bro, dulu aku kira sibuk kerja itu tanda sukses.”
“Sekarang?”
“Ternyata bisa duduk bareng anakku sore-sore lebih berharga dari semua rapat.”

Rasa Takut dan Rahmat yang Bertaut

Al-Qur’an mengingatkan:

 وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
(QS. Al-Baqarah: 155)

“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Covid kemarin memberi rasa takut kolektif. Namun di balik rasa takut itu, terselip rahmat. Keluarga kembali duduk bersama, bumi bernafas karena polusi berkurang, banyak orang belajar berbagi meski sedang susah. Sayangnya, begitu keadaan membaik, kita kembali ke ego lama: berebut, menyalahkan, lupa syukur.

Nafsu Lama dalam Wajah Baru

Ibn ‘Arabi menulis lagi:

 النَّاسُ يَظُنُّونَ أَنَّ الْبَلَاءَ يُغَيِّرُهُمْ، وَمَا يَغَيِّرُهُمْ إِلَّا التَّوْبَةُ وَالرُّجُوعُ

“Manusia menyangka bencana mengubah mereka. Padahal yang benar-benar mengubah hanyalah taubat dan kembali kepada Allah.”

Betul saja, pandemi tidak otomatis membuat manusia lebih bijak. Setelah masker dilonggarkan, banyak yang langsung kembali pada pola lama: rakus, sibuk pamer, sibuk ribut. Alarm Tuhan pun dipencet, lalu kita balik tidur.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Padahal jika kita mau jujur, pandemi itu bukan tentang virus, tapi tentang bagaimana kita memperlakukan waktu, napas, dan sesama manusia.

Bayangkan percakapan ini dalam hati:

“Kenapa kau resah?”
“Karena takut mati.”
“Dan bukankah kau memang pasti mati?”
“Lalu kenapa aku lupa menyiapkan bekal?”

Covid kemarin menampar kita dengan pertanyaan paling tua: untuk apa kita hidup?

Covid adalah alarm, bukan hukuman.
Pelajaran bukan pada virusnya, tapi pada keterbatasan kita.
Yang perlu berubah bukan hanya perilaku fisik (masker, cuci tangan), tapi juga perilaku batin (syukur, sabar, tobat).

Tanda-Tanda yang Terlupa

Dalam al-Futūḥāt, Ibn ‘Arabi menyebut:

 الْعِبْرَةُ لَيْسَتْ فِي ظُهُورِ الْحَوَادِثِ، وَلَكِنْ فِي مَا يُوقِظُكَ فِيهَا

“Hikmah bukan pada munculnya peristiwa, tetapi pada apa yang membangunkanmu darinya.”

Sains modern pun mendukung. Penelitian dari Journal of Environmental Research mencatat, pada tahun 2020 emisi karbon dunia turun 6,4% karena pembatasan aktivitas. Alam semesta ikut bernafas lega. Tapi begitu aktivitas kembali, polusi naik lebih cepat dari sebelumnya. Pertanyaannya: benarkah kita belajar?

Menjaga Alarm agar Tetap Hidup

Covid mungkin sudah surut, tapi alarmnya jangan kita matikan. Kita perlu menyalakan kembali kesadaran: menjaga bumi, menghargai waktu, memperbaiki hubungan dengan keluarga, mendekat kepada Allah. Jika tidak, mungkin akan datang alarm baru dengan bentuk berbeda.

Mari kita akhiri dengan doa:

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَعِظُ بِآيَاتِكَ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِمَّنْ يَنْسَى بَعْدَ أَنْ ذُكِّرَ

“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang yang mengambil pelajaran dari tanda-tanda-Mu, dan jangan jadikan kami orang yang lupa setelah Engkau ingatkan.”

Kalau pandemi kemarin hanyalah alarm, pertanyaannya sekarang: apakah kita sudah bangun, atau masih memilih tidur?

 

* Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement