Opinion
Beranda » Berita » Seni & Musik Nusantara: Nafas Allah yang Ditiup Lewat Nada

Seni & Musik Nusantara: Nafas Allah yang Ditiup Lewat Nada

Gamelan Jawa sebagai simbol seni dan musik Nusantara yang bernapas dengan ruhani.
Gamelan tradisional dengan aura spiritual, menggambarkan hubungan seni, musik, dan ruhani dalam tradisi Nusantara.

Ada yang sering kita lupakan ketika mendengar gamelan, rebana, atau sekadar suara seruling di sawah: seni dan musik Nusantara bukan hanya hiburan, tetapi sebuah cara hidup. Bahkan lebih dalam, ia bisa jadi napas ruhani. Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyyah pernah menulis tentang bagaimana setiap bunyi adalah tanda dari Allah. Maka, ketika harga diri kita kadang dikoyak zaman, seni bisa menjadi suluh penerang.

Musik, terutama di Nusantara, bukan sekadar trend atau gaya, tapi jembatan antara manusia dengan Yang Maha. Ketika kita mengucapkan frasa kunci seni dan musik Nusantara, kita sedang bicara bukan hanya tentang warisan budaya, tapi juga rahasia spiritual yang mengalir di dalamnya.

Suara yang Menyentuh Jiwa, Bukan Hanya Telinga

Saya masih ingat, waktu kecil duduk di samping simbah di langgar desa. Ada rebana dipukul perlahan, shalawat menggema. Suara sederhana itu membuat hati hangat, seolah ada tangan lembut yang menepuk dada. Simbah berbisik, “Nak, musik ini bukan sekadar suara. Ia doa yang melayang ke langit.”

Ibn ‘Arabi menulis:

اَلسَّمْعُ بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ الْحَقُّ إِلَى الْقَلْبِ

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“Pendengaran adalah pintu di mana kebenaran masuk menuju hati.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah)

Musik bukan hanya bunyi, ia pintu. Dan Nusantara punya banyak pintu—gamelan Jawa, saluang Minang, sasando NTT—semua adalah pintu yang kalau kita jujur, bisa membuat jiwa menunduk kepada Sang Pencipta.

Dari Nada, Kita Belajar Ikhlas

Bila diperhatikan, musik tradisional kita jarang bersuara tunggal. Gamelan misalnya, selalu bergelombang, berlapis, saling menyatu. Tidak ada instrumen yang ingin menonjol sendiri. Inilah pelajaran keikhlasan.

Al-Qur’an juga pernah menyiratkan tentang harmoni kosmos:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. Al-Isra’: 44)

Bayangkan, daun gugur, suara angin, derap langkah kuda, bahkan detak jantung kita—semua sedang bernyanyi untuk Allah.

“Mas, musik itu haram nggak sih?” tanya seorang pemuda sambil menyeruput kopi hitam.
Saya tersenyum, “Kalau musik yang membuatmu lupa Allah, itu masalah. Tapi kalau musik yang bikin kau makin sadar Allah, itu rahmat.”
Ia manggut-manggut, mungkin masih bingung, tapi hatinya tersentuh.

Ibn ‘Arabi berkata:

إِذَا سَمِعْتَ صَوْتًا جَمِيلًا فَاعْلَمْ أَنَّهُ نَفَسُ الرَّحْمٰنِ يُخَاطِبُكَ

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

“Apabila engkau mendengar suara yang indah, ketahuilah bahwa itu Nafas Ar-Rahman yang sedang menyapamu.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah)

Musik Nusantara, Doa yang Menjadi Budaya

Ketika anak-anak muda menabuh kendang di acara hajatan, atau ibu-ibu melantunkan tembang Jawa sebelum tidur, itu bukan sekadar adat. Itu doa yang sudah menjadi budaya.

Riset etnomusikologi Universitas Gadjah Mada (2019) menunjukkan, musik tradisional Nusantara berperan besar dalam membentuk solidaritas sosial dan kesehatan mental masyarakat. Orang yang terlibat dalam kesenian tradisional lebih rendah tingkat stresnya dibanding yang tidak.

Ibn ‘Arabi juga mengingatkan:

اَلْأَصْوَاتُ أَرْوَاحٌ تَتَحَرَّكُ بَيْنَ الْأَجْسَادِ فَتُحْيِي مَا كَانَ مَيِّتًا

“Bunyi-bunyi adalah ruh yang bergerak di antara jasad, lalu menghidupkan yang sebelumnya mati.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah)

Kalau musik bisa membuatmu semakin dekat kepada Allah, rawatlah. Kalau ia membuatmu lupa, tinggalkanlah. Hati manusia adalah panggung yang tidak boleh sembarang nada dimainkan di dalamnya.

Nafas Allah di Balik Nada

Seni dan musik Nusantara mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya soal mencari makan, tapi juga soal mencari makna. Seperti yang ditulis Ibn ‘Arabi:

اَلْكَوْنُ كُلُّهُ أَلْحَانٌ مَسْمُوعَةٌ فِي مَسَارِحِ الْأَوْجُهِ

“Seluruh semesta adalah alunan nada yang terdengar di panggung-panggung wajah-Nya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyyah)

Kalau begitu, bukankah setiap langkah kita pun musik? Bukankah doa, dzikir, bahkan diam, adalah bagian dari simfoni Ilahi?

Seni dan musik Nusantara adalah warisan, tapi lebih dari itu, ia amanah. Jangan kita anggap remeh rebana kecil atau gamelan di balai desa. Di sana ada doa, ada rahmat, ada Nafas Allah.

Semoga kita tidak sekadar jadi pendengar musik, tapi juga pendengar rahasia Allah di balik musik. Lalu kita bisa bertanya pada diri sendiri: sudahkah nada hidup kita menyatu dengan doa, atau hanya jadi kebisingan dunia?

اللّهُمَّ اجْعَلْ أَصْوَاتَنَا ذِكْرًا، وَأَلْحَانَنَا قُرْبًا، وَنَفَسَنَا سَبِيْلًا إِلَيْكَ

 

“Ya Allah, jadikan suara kami dzikir, alunan kami kedekatan, dan napas kami jalan menuju-Mu.”

 

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement