Opinion
Beranda » Berita » Harga Sembako: Latihan Sabar atau Ajakan Marah?

Harga Sembako: Latihan Sabar atau Ajakan Marah?

ilustrasi ibu berbelanja sembako di pasar tradisional dengan wajah sabar
Seorang ibu membawa keranjang sayur di pasar tradisional, wajahnya campuran antara letih dan sabar, dengan cahaya matahari masuk dari sela-sela atap pasar.

Harga sembako selalu jadi topik hangat di warung kopi, pasar tradisional, bahkan di ruang-ruang pengajian. Bagi sebagian orang, kenaikan harga sembako adalah musibah yang memancing amarah. Namun bagi yang lain, ia menjadi latihan sabar sekaligus ujian spiritual. Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyah menyentil bahwa rezeki bukanlah sekadar perputaran angka, melainkan cara Allah mendidik hati manusia.

Percakapan di Pasar Pagi

Suatu pagi, saya mendengar obrolan pedagang sayur dan seorang ibu pembeli.

“Bu, cabai sekarang naik lagi.”
“Naik terus, Pak. Kadang saya bingung, ini ujian sabar atau ajakan marah?”
“Kalau marah, cabainya tetap mahal, Bu. Kalau sabar, mungkin rasanya lebih ringan.”

Dialog itu sederhana, namun menyimpan hikmah. Ibn ‘Arabi pernah menulis:

الرِّزْقُ لَيْسَ مَا جَمَعْتَ، بَلْ مَا اسْتَعْمَلْتَهُ فِي طَاعَةِ رَبِّكَ

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“Rezeki bukanlah apa yang engkau kumpulkan, tetapi apa yang engkau gunakan untuk taat kepada Rabbmu.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Harga sembako boleh naik, tapi jika hati tetap yakin bahwa Allah adalah Ar-Razzāq, maka kecemasan bisa berubah jadi doa.

Ketika Angka Menjadi Ujian Hati

Fenomena sosial menunjukkan bahwa fluktuasi harga sembako sering memicu keresahan kolektif. Badan Pusat Statistik mencatat inflasi pangan adalah faktor yang paling cepat dirasakan masyarakat. Namun, Ibn ‘Arabi mengingatkan:

إِنَّ اللَّهَ يُرِيدُ أَنْ يَرَى صَبْرَكَ فِي الضِّيقِ كَمَا يَرَى شُكْرَكَ فِي السَّعَةِ

“Sesungguhnya Allah ingin melihat kesabaranmu dalam kesempitan sebagaimana Dia ingin melihat syukurmu dalam kelapangan.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Jadi, harga beras yang melonjak, minyak goreng yang menipis, atau cabai yang melambung bukan sekadar persoalan ekonomi. Ia adalah kelas rohani tempat kita diuji: apakah lebih condong pada marah atau sabar.

Ayat yang Menjadi Penuntun

Al-Qur’an mengingatkan:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Ayat ini jelas menyebut “lapar” sebagai salah satu ujian. Maka, kenaikan harga sembako sejatinya adalah bagian dari sunnatullah dalam kehidupan manusia.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Marah yang Membutakan atau Sabar yang Menjernihkan?

Marah adalah reaksi manusiawi, tapi jika terus dipelihara ia bisa menutup pintu hikmah. Ibn ‘Arabi menulis:

مَنْ غَلَبَ غَضَبُهُ عَلَى عَقْلِهِ صَارَ كَأَنَّهُ بَهِيمَةٌ تَسُوقُهُ شَهْوَتُهُ

“Barang siapa marahnya mengalahkan akalnya, ia menjadi seperti hewan yang digiring oleh syahwatnya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Sebaliknya, sabar menjernihkan hati. Ia membuka ruang untuk ikhtiar yang lebih kreatif, bukan hanya keluhan atau makian.

Belanja secukupnya – jauhi sikap panik yang memperparah kelangkaan.

Cari alternatif lokal – konsumsi hasil tani sekitar, kurangi ketergantungan pada pasokan luar.

Hidupkan solidaritas kampung – saling bantu bahan pokok, sebagaimana gotong royong nenek moyang.

Tumbuhkan doa dan tawakkal – yakin bahwa rezeki Allah luas, meski harga dunia sempit.

Seorang anak kecil bertanya pada ibunya,
“Kenapa harga beras mahal, Bu?”
Ibunya tersenyum sambil menatap piring sederhana di meja,
“Berasnya mahal, Nak. Tapi kalau kita makan sambil bersyukur, rasanya tetap nikmat.”

Ilmu Ekonomi dan Tasawuf Bertemu

Riset psikologi ekonomi (Kahneman & Deaton, 2010) menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak semata ditentukan oleh pendapatan, melainkan oleh persepsi syukur dan kesejahteraan batin. Ibn ‘Arabi, jauh sebelum itu, sudah menekankan bahwa rezeki sejati ada pada hati yang tenang, bukan pada angka yang menumpuk.

Harga sembako memang fluktuatif. Kita tidak bisa mengontrol pasar dunia, tapi kita bisa mengontrol respon hati. Marah hanya menambah keruh, sabar membuka jalan terang.

Penutup

Kenaikan harga sembako bisa jadi ajakan marah, bisa juga latihan sabar. Semua tergantung pada kacamata hati kita.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ

“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang sabar dalam kesempitan, dalam penderitaan, dan di saat sulit.”

Maka pertanyaannya, ketika harga naik di pasar, hati kita naik ke marah atau naik ke sabar?

 

* Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement