Opinion
Beranda » Berita » Banjir dan Alam Murka: Kita yang Bikin, Allah yang Ngelihatin

Banjir dan Alam Murka: Kita yang Bikin, Allah yang Ngelihatin

ilustrasi banjir sebagai tanda kasih sayang Allah
Ilustrasi sungai meluap ke perkampungan, dengan cahaya langit menembus awan gelap, seolah menjadi peringatan Ilahi.

Banjir selalu datang dengan wajah serupa: air keruh meluap, rumah-rumah tergenang, orang-orang berlarian menyelamatkan barang, lalu berita bertebaran di layar kaca. Tetapi apakah banjir hanya persoalan curah hujan? Atau lebih dalam, ia adalah cermin dari jiwa manusia yang lupa menata dirinya? Ibn ‘Arabi dalam Al-Futūḥāt al-Makkiyah memberi isyarat: alam adalah kitab Allah yang lain, ia berbicara kepada kita dengan bahasa peristiwa.

Air yang Membawa Suara

Saya masih ingat percakapan seorang ibu yang rumahnya terendam banjir di pinggiran kota:

“Airnya bukan salah hujan, Nak. Dulu sawah masih luas, sekarang semua jadi beton. Ya begini jadinya.”

Kalimat itu terdengar sederhana, namun menohok. Kita yang menebangi pohon, kita yang menutup tanah dengan aspal, kita pula yang mengeluh ketika air mencari jalannya. Ibn ‘Arabi menulis:

مَا تَرَى فِي الْكَوْنِ إِلَّا نَفْسَكَ مَجْسُومَةً فِي صُوَرٍ مُخْتَلِفَةٍ

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“Apa yang engkau lihat di alam semesta hanyalah dirimu sendiri yang menjelma dalam rupa-rupa berbeda.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Banjir, dalam bahasa tasawuf, adalah bayangan kita. Alam sekadar menampilkan ulang ulah tangan manusia.

Ayat yang Menjadi Cermin

Al-Qur’an sudah mengingatkan jauh-jauh hari:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Ayat ini bukan sekadar nubuat, melainkan kenyataan sehari-hari. Ketika manusia abai pada keseimbangan, alam menjawab dengan murka. Tetapi murka alam sejatinya adalah kasih sayang Allah yang mengingatkan kita.

Ibn ‘Arabi menulis dengan jernih:

إِنَّ الْكَوْنَ مُؤَدِّبٌ لِمَنْ يَفْهَمُهُ، وَمُعَذِّبٌ لِمَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ

“Sesungguhnya alam mendidik bagi yang memahaminya, dan menyiksa bagi yang berpaling darinya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Maka, banjir bisa dibaca dengan dua wajah. Bagi yang sadar, ia adalah guru yang mengajarkan rendah hati. Bagi yang menolak belajar, ia menjadi azab yang menyiksa.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Ketika Ego Mengalir Lebih Deras dari Sungai

Di banyak kota, banjir bukan hanya air yang tumpah, tapi juga simbol ego yang menolak dikendalikan. Lihat saja bagaimana aliran sungai dipersempit demi kompleks mewah, atau rawa ditimbun demi gedung tinggi. Ego kita lebih deras daripada arus sungai itu sendiri.

Ibn ‘Arabi menegaskan:

مَنْ سَكَنَ نَفْسَهُ سَكَنَ كَوْنُهُ، وَمَنْ أَهْمَلَهَا اضْطَرَبَ الْعَالَمُ عَلَيْهِ

“Barang siapa menata dirinya, maka tenteramlah alamnya; barang siapa menelantarkannya, maka kacau alam di sekitarnya.” (Al-Futūḥāt al-Makkiyah)

Jadi, banjir adalah buah dari ego kolektif yang dibiarkan liar.

Langkah Praktis

Sadari keterhubungan – setetes sampah plastik yang kita buang bisa jadi arus banjir di rumah tetangga.

Tanam kembali – pohon bukan hanya penghias, tapi penyangga kehidupan.

Berhenti serakah ruang – biarkan sungai punya jalan, biarkan tanah bernapas.

Bangun kesadaran spiritual lingkungan – jadikan menjaga alam sebagai ibadah, bukan sekadar proyek.

Seorang anak bertanya kepada ayahnya di tengah banjir:
“Yah, kenapa Allah turunkan air segini banyak?”
Sang ayah menjawab sambil memeluknya:
“Air ini titipan Allah. Kita yang salah memperlakukannya. Allah cuma ngeliatin, sambil nunggu kita sadar.”

Ilmu Modern yang Meneguhkan

Penelitian hidrologi menunjukkan bahwa urbanisasi tanpa tata ruang ekologis mempercepat siklus banjir (World Bank, Water and Climate Report, 2022). Fakta ini meneguhkan apa yang sudah diajarkan Al-Qur’an dan para sufi: kerusakan adalah buah dari tangan kita sendiri.

Banjir bisa menjadi jalan kembali. Ia mengajarkan kita untuk menundukkan kepala, menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan ciptaan Allah. Barangkali inilah rahmat di balik murka alam: Allah memberi tanda, agar kita pulang.

Banjir bukan sekadar bencana. Ia adalah surat cinta Allah yang ditulis dengan air, agar kita berhenti pongah dan kembali merunduk.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَعَلَّمُونَ مِنْ آيَاتِكَ وَلَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْهَا

 

“Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang belajar dari tanda-tanda-Mu dan tidak menyombongkan diri di hadapannya.”

Lalu, ketika air surut dan lumpur tersisa, apakah kita benar-benar sudah belajar, atau hanya menunggu banjir berikutnya?

 

* Sugianto al-Jawi

Busayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement