Rasa Kebersamaan yang Sering Terselip
Indonesia itu rumah besar. Rumah yang diisi oleh ratusan juta jiwa, ribuan pulau, dan ratusan bahasa. Namun, di rumah besar ini, kita kadang lupa untuk saling jaga. Kita sibuk memikirkan kamar masing-masing, sampai lupa bahwa genteng rumah ini bocor dan dindingnya mulai retak.
Dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ʿArabī menulis dengan indah:
الوطن الحقيقي هو حيث يسكن القلب، فإذا اجتمع الناس فيه صاروا إخوة
“Tanah air sejati adalah tempat hati berdiam. Jika manusia berkumpul di dalamnya, mereka menjadi saudara.”
Betapa dalam makna ini: rumah besar bukan hanya gedung, bukan sekadar tanah, melainkan hati yang saling bertaut.
Antara Ego Pribadi dan Kepentingan Bersama
Di jalan raya kita sering lihat, pengendara yang melawan arus demi cepat sampai. Ia lupa, tindakannya justru memperlambat semuanya. Fenomena ini cermin kecil dari bagaimana sebagian kita menaruh ego di atas kepentingan bersama.
Ibn ʿArabī mengingatkan:
من لم يحفظ حق أخيه في الوطن، لم يحفظ حق الله فيه
“Barangsiapa tidak menjaga hak saudaranya di tanah air, maka ia tidak menjaga hak Allah di dalamnya.”
Kata-kata ini menohok: menjaga sesama warga, menjaga negeri, sejatinya bagian dari ibadah.
Ketika Perbedaan Jadi Jurang
Di warung kopi, obrolan sering memanas: politik, agama, bahkan klub bola bisa jadi bahan ribut. Padahal, jika kita renungkan, rumah besar ini justru dibangun dari perbedaan.
Dialog sederhana sering muncul:
“Mas, kenapa sih beda pilihan langsung marah?”
“Karena aku merasa pilihanku paling benar.”
“Tapi kalau semua merasa paling benar, kapan kita bisa saling dengar?”
Ibn ʿArabī menulis penuh hikmah:
القلوب أوعية، فمن ضاق قلبه ضاق وطنه، ومن اتسع قلبه اتسع وطنه
“Hati adalah wadah. Siapa yang hatinya sempit, tanah airnya sempit. Siapa yang hatinya lapang, tanah airnya luas.”
Bukankah ini pengingat halus? Indonesia akan terasa sesak bila hati kita kerdil, tapi akan lapang bila kita saling merangkul.
Fenomena Sosial di Negeri Kita
Menurut riset Indikator Politik Indonesia (2023), tingkat intoleransi sosial meningkat ketika suhu politik memanas. Media sosial memperburuknya dengan ujaran kebencian yang cepat viral.
Padahal, dalam Al-Qur’an Allah mengingatkan:
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (QS. al-Ḥujurāt: 13)
Bukan saling curiga, bukan saling mencaci.
Menemukan Jalan Pulang ke Persaudaraan
Indonesia ini rumah yang luas, tapi kita sering mengotori ruang tamunya dengan pertengkaran. Kita kadang lupa bahwa anak-anak kita sedang tumbuh di dalam rumah ini. Mereka mencontoh apa yang kita lakukan.
Ibn ʿArabī menegaskan lagi:
الوطن أمانة، إذا لم يحفظه أهله ضاع
“Tanah air adalah amanah. Jika penduduknya tidak menjaganya, ia akan hilang.”
Amanah itu bukan sekadar jargon, melainkan tanggung jawab nyata: menjaga lingkungan, menolak korupsi, saling menghormati, dan merawat keberagaman.
Menjaga Rumah Besar Indonesia
Mulai dari keluarga – ajarkan anak untuk menghormati perbedaan.
Gunakan media sosial dengan bijak – hindari menyebar kebencian.
Rawat lingkungan sekitar – bersih-bersih kampung lebih bermakna daripada berdebat tak jelas.
Pilih pemimpin yang amanah – jangan karena amplop, tapi karena komitmen menjaga bangsa.
Indonesia ini rumah besar. Rumah yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, yang mereka bangun dengan darah dan doa. Kita tidak boleh membiarkannya retak hanya karena ego pribadi.
Ya Allah, lapangkan hati kami agar mampu saling menjaga di rumah besar ini. Ajari kami untuk melihat perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman.
Apakah kita siap merawat rumah besar ini bersama, atau masih sibuk mengunci diri di kamar masing-masing?
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
