Luka yang Tak Pernah Selesai
Korupsi di Indonesia seperti penyakit menahun. Dari berita TV sampai obrolan warung kopi, kata itu selalu muncul. Seakan-akan negeri ini tak pernah benar-benar sembuh. Padahal setiap pejabat yang korup tahu bahwa Allah Maha Melihat. Tapi entah kenapa, nafsu sering lebih besar daripada rasa takut.
Ibn ‘Arabī dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah menulis:
النفس إذا غلبت على القلب، أعمته عن شهود الحق
“Jika nafsu menguasai hati, ia akan membutakan dari menyaksikan kebenaran Allah.”
Bukankah korupsi lahir dari hati yang buta? Mata melihat uang, tapi tak lagi melihat Tuhan.
Nafsu yang Menipu, Dunia yang Menggoda
Korupsi bukan sekadar soal hukum dan politik. Ia adalah cermin dari nafsu yang gagal dididik. Seseorang bisa hafal ayat, rajin shalat, tapi ketika nafsu dunia menjerat, kesadaran Ilahi memudar.
Allah berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ
“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (QS. Al-Ḥadīd [57]: 4).
Namun, saat tangan meraih amplop gelap, ayat ini seolah tak pernah singgah di hati.
“Pak, kenapa korupsi terus ada di negeri ini?”
“Karena kita lupa bahwa Allah selalu nonton.”
“Kalau Allah nonton, kenapa orang masih berani?”
“Karena mereka menukar mata Allah dengan buta diri.”
Dialog singkat ini mungkin sering kita dengar, tapi jarang benar-benar kita renungkan.
Wajah Negeri yang Kita Tinggali
Indonesia kaya raya. Laut, gunung, hutan, emas—semua ada. Tapi kemiskinan masih jadi berita harian. Seringkali akar masalahnya adalah korupsi. Menurut Transparency International (2023), indeks persepsi korupsi Indonesia masih berada di angka 34 dari 100. Angka ini menunjukkan betapa dalam luka bangsa.
Ibn ‘Arabī mengingatkan:
من خان الأمانة، فقد خان نفسه قبل أن يخون الناس
“Siapa yang berkhianat terhadap amanah, ia lebih dulu .berkhianat pada dirinya sebelum pada orang lain.”
Korupsi bukan hanya merugikan negara. Ia merusak jiwa pelakunya, membuat hatinya hampa, dan hidupnya penuh kegelisahan.
Cermin untuk Kita Semua
Jangan buru-buru menunjuk jari pada pejabat saja. Korupsi ada di skala kecil sehari-hari: mencontek, mark up laporan kantor, atau curi-curi waktu kerja. Itu semua bagian dari “nafsu lupa Allah lagi nonton”.
Dalam al-Futūḥāt, Ibn ‘Arabī menulis:
من علم أن الله يراه، استحيا أن يراه على معصية
“Siapa yang yakin Allah melihatnya, ia akan malu terlihat dalam maksiat.”
Jika kesadaran ini hidup, tangan akan tertahan, pikiran akan jernih, hati akan malu.
Renungan Singkat: Menahan Nafsu, Menyadari Allah
Latih rasa malu: Ingatlah Allah lebih dekat dari CCTV manapun.
Didik nafsu dengan ibadah: Puasa, shalat malam, dan zikir adalah cara meredam kerakusan.
Tumbuhkan budaya amanah: Mulai dari hal kecil di rumah dan pekerjaan.
Berani jujur: Meski pahit, kejujuran membuka pintu keberkahan.
Saat Kita Butuh Jalan Pulang
Korupsi adalah dosa sosial. Ia merampas hak orang banyak. Tapi Allah selalu membuka jalan pulang bagi yang bertaubat.
Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Kalimat ini tak hanya berlaku untuk pejabat, tapi untuk kita semua. Dari kepala rumah tangga sampai pengurus RT, semua akan diminta laporan oleh Allah.
Menutup dengan Doa
Ya Allah, bersihkan hati kami dari nafsu yang membutakan. Jadikan kami bangsa yang jujur, amanah, dan malu berbuat dosa. Jangan biarkan kami lupa bahwa Engkau selalu nonton.
Apakah kita sudah cukup malu untuk berhenti berkhianat pada diri sendiri?
* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
