SURAU.CO. Kita hidup di zaman yang menuntut segalanya serba cepat, serba banyak, dan serba mewah. Banyak orang bangun pagi lalu berlomba mencari harta, namun sedikit yang sadar siapa sesungguhnya yang menggenggam rezeki mereka. Manusia bekerja, merancang strategi, dan mengejar peluang seolah-olah usahanya menjadi penentu utama keberhasilan. Padahal, tak sedikit orang yang telah bekerja keras tapi tetap hidup dalam kekurangan, sementara ada pula yang memperoleh kelimpahan dari arah yang tak terduga.
Jika kita telusuri lebih dalam, kita akan temukan bahwa Allah-lah yang mengatur rezeki setiap makhluk, bukan semata usaha atau kepintaran. Inilah hakikat yang sering kita lupakan: bahwa di balik setiap nikmat, ada ketetapan Ilahi yang tak bisa ditawar. Maka, apakah kita masih merasa layak mengeluh saat merasa kurang, padahal Sang Pemberi Rezeki telah membagi dengan adil.
Allah yang Mengatur Rezeki
Rezeki adalah hak prerogatif Allah Ta’ala. Dia membaginya dengan keadilan, hikmah, dan sesuai dengan kadar kebutuhan hamba-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (juga) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-‘Ankabut: 62)
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia tidak sepenuhnya menentukan seberapa besar rezeki yang ia dapat. Sebesar apapun usaha yang dilakukan, jika Allah belum menakdirkan keberlimpahan, maka ia tidak akan mendapatkannya. Sebaliknya, ada yang secara kasat mata usahanya kecil, tapi Allah membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah berkata: “Seandainya rezeki itu tergantung pada kepintaran, maka tentu banyak orang bodoh yang mati kelaparan. Tetapi ternyata Allah membaginya sesuai kehendak-Nya, bukan semata berdasarkan kepandaian.”
Qana’ah Kunci Kekayaan Hati
Qana’ah (merasa cukup) bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi sikap mental dan spiritual yang menerima dengan ridha apa yang telah Allah takdirkan. Dengan qana’ah membuat hati tenang, pikiran jernih, dan hidup menjadi lebih lapang. Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa orang yang paling kaya bukanlah yang hartanya banyak, tetapi yang hatinya merasa cukup.
“Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa (hati).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan dalam syarahnya: “Qana’ah adalah sikap menerima pembagian Allah dengan lapang dada, disertai usaha dan tawakal. Bukan berarti malas, namun tidak tergoda oleh ambisi dunia yang melampaui batas.”
Dengan qana’ah, seseorang tetap bekerja keras dan berikhtiar, namun tidak diperbudak oleh keinginan duniawi. Ia menikmati hasil kerja, berterima kasih kepada Allah, dan tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain.
Bahaya Nafsu Tak Pernah Puas
Salah satu penyakit hati terbesar adalah tamak (rakus). Ia tidak hanya merusak spiritualitas seseorang, tetapi juga melemahkan mental dan menghancurkan kebahagiaan. Rasulullah ﷺ menggambarkan betapa bahayanya nafsu dunia yang tak pernah puas dalam sebuah hadis.
“Tidaklah anak Adam itu memenuhi satu lembah emas melainkan dia ingin lembah yang kedua. Dan tidak ada yang dapat memenuhi perut anak Adam kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan bahwa jiwa manusia memiliki sifat dasar serakah terhadap dunia. Dan satu-satunya yang bisa menghentikannya hanyalah kematian atau ketundukan kepada syariat.”
Tamak membuat seseorang sulit bersyukur, selalu membandingkan nasibnya dengan orang lain, dan seringkali jatuh ke dalam perilaku haram untuk mendapatkan lebih banyak harta.
Kebahagiaan Tidak Terletak pada Banyaknya Harta
Betapa banyak orang yang memiliki segalanya secara materi, namun hidup dalam kegelisahan, kekhawatiran, dan kecemasan yang tak kunjung usai. Sebaliknya, ada orang yang hidup sederhana, namun penuh ketenangan dan kedamaian.
Allah berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menafsirkan “hayatan thayyibah” sebagai hidup yang penuh qana’ah dan ketenangan hati. Bukan jumlah uang di rekening yang menentukan “hidup baik”, tetapi seberapa dalam ketenangan yang dirasakan dalam hati. Orang yang qana’ah tidak terganggu oleh dunia, karena ia tahu bahwa Allah-lah sebaik-baik pengatur rezeki.
Memupuk Sifat Qana’ah
Kita hidup di dunia yang penuh persaingan, di mana standar kesuksesan sering kali hanya diukur dari kekayaan dan jabatan. Namun Islam mengajarkan standar yang jauh lebih tinggi. Kebahagiaan yang lahir dari hati yang bersih, jiwa yang ridha, dan hubungan yang kuat dengan Allah.
Bila kita terus mengukur diri dengan apa yang orang lain punya, kita tidak akan pernah merasa cukup. Tapi bila kita belajar qana’ah, mensyukuri setiap jatah yang Allah beri, kita akan merasakan kelapangan hidup bahkan di tengah keterbatasan.
Mari kita renungkan sabda Nabi ﷺ,“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, lalu Allah beri rezeki secukupnya, dan dijadikan hatinya merasa cukup dengan apa yang dikaruniakan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersyukur, sabar, dan qana’ah, serta mewariskan kepada kita kekayaan hati yang lebih berharga daripada harta benda duniawi. Aamiin Yaa Rabbal’alamiin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
