Dalam Nasihatul Muluk karya Imam al-Ghazali, terdapat pesan yang terasa seperti teguran abadi: jangan remehkan akal, jangan lukai hati, dan jangan rendahkan perempuan. Sebab, apabila ketiganya dilalaikan, negeri akan berubah menjadi panggung kekacauan.
Kini, jika kita menengok ke jalanan kota atau layar berita, gejala itu tampak jelas. Ada kabar tentang korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, ujaran kebencian di media sosial, hingga perebutan kuasa tanpa nurani. Semua itu, pada akhirnya, seakan potret dari nasihat lama yang tidak kita gubris.
Imam al-Ghazali menulis:
“بِالْعَقْلِ يَسْتَقِيمُ الْمُلْكُ، فَإِذَا غَابَ ضَاعَ النِّظَامُ”
“Dengan akal sebuah kerajaan berdiri tegak, dan jika akal hilang, maka hancurlah tatanan.”
Karena itulah, tanpa akal sehat, tatanan masyarakat akan mudah goyah. Sebagai contoh, survei Transparency International (2022) menempatkan Indonesia pada skor 34/100 untuk indeks persepsi korupsi. Angka ini menunjukkan betapa logika sehat sering kali digantikan oleh kerakusan.
Saya pernah berdialog singkat dengan seorang sopir angkot di Blitar. Ia bertanya dengan getir:
“Mas, kenapa jalan kita rusak terus padahal anggaran katanya besar?”
Kemudian ia menjawab sendiri sambil tersenyum pahit, “Karena yang dipakai bukan akal, tapi kantong.”
Hati yang Tertutup oleh Debu Kekerasan
Lebih jauh, Rasulullah SAW bersabda:
“أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ”
(HR. Bukhari-Muslim)
“Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, baiklah seluruh tubuh; jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Itulah hati.”
Imam al-Ghazali menguatkan dalam Nasihatul Muluk:
“بِفَسَادِ الْقَلْبِ تَنْهَدِمُ الدُّوَلُ”
“Dengan rusaknya hati, runtuhlah negara.”
Oleh karena itu, ketika hati menjadi keruh, kebijakan akan kaku, perkataan melukai, dan masyarakat mudah terpecah. Fenomena kekerasan sosial, polarisasi politik, hingga ujaran kebencian di dunia maya adalah tanda bahwa hati kita semakin gelap.
Perempuan sebagai Cermin yang Pecah
Selanjutnya, Al-Ghazali menulis dengan tegas:
“النِّسَاءُ صُوَرُ الْحَيَاةِ، فَإِذَا هُنَّ هُيِّنَ عَلَى الْمُلْكِ، هَانَ الْمُلْكُ عِنْدَ اللهِ”
“Perempuan adalah citra kehidupan. Jika mereka diremehkan oleh kerajaan, maka kerajaan itu hina di sisi Allah.”
Dalam kenyataan sehari-hari, perempuan kerap ditempatkan pada posisi ambigu. Di satu sisi dipuja dalam puisi, tetapi di sisi lain sering diremehkan dalam praktik sosial. Menurut Komnas Perempuan (2023), lebih dari 457.000 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat di Indonesia. Angka itu jelas bukan sekadar statistik, melainkan jerit yang terbungkam.
Saya teringat seorang ibu penjual nasi pecel di pasar. Ia berkata lirih:
“Orang sering bilang ibu rumah tangga itu kerjaannya ringan. Padahal saya kerja dari subuh sampai malam, demi anak bisa sekolah.”
Karena itu, perempuan adalah cermin. Dan ketika kita memecahkannya, serpihannya akan melukai semua orang.
Negeri di Ambang Kekacauan
Imam al-Ghazali sekali lagi mengingatkan:
“إِذَا تَغَلَّبَ الْجَهْلُ عَلَى الْعَقْلِ، وَالظُّلْمُ عَلَى الْعَدْلِ، وَاسْتُهِينَ بِالنِّسَاءِ، فَانْتَظِرُوا سُقُوطَ الْمُلْكِ”
“Jika kebodohan mengalahkan akal, kezaliman menyingkirkan keadilan, dan perempuan direndahkan, maka tunggulah kejatuhan kerajaan.”
Dengan demikian, kalimat ini terdengar seperti nubuatan. Sebab, negeri yang abai pada akal, hati, dan perempuan tidak perlu menunggu musuh dari luar; ia akan runtuh dari dalam dirinya sendiri.
Renungan Singkat
Agar lebih mudah, tiga pilar yang menjaga negeri dapat dirumuskan sebagai berikut:
-
Akal sehat → melahirkan kebijakan adil dan terukur.
-
Hati yang bersih → melahirkan empati dan kasih.
-
Perempuan yang dimuliakan → menjaga keberkahan keluarga dan bangsa.
Langkah Praktis
Supaya pesan itu tidak berhenti sebagai retorika, kita perlu melangkah:
-
Bagi pribadi: belajarlah mendengar suara hati, bukan hanya logika untung-rugi.
-
Bagi pemimpin: libatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, bukan hanya dalam seremoni.
-
Bagi masyarakat: gunakan akal sehat dalam bermedsos, berhentilah menyebar kebencian, karena itu racun yang mematikan bangsa.
Penutup: Doa yang Menjaga Negeri
Bangsa, pada hakikatnya, tidak hanya berdiri di atas fondasi beton, melainkan juga di atas akal yang jernih, hati yang bersih, dan perempuan yang dimuliakan. Oleh sebab itu, bila salah satunya runtuh, negeri ini akan segera berubah menjadi panggung kekacauan.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عُقُولَنَا نُورًا، وَقُلُوبَنَا طَاهِرَةً، وَنِسَاءَنَا كَرِيمَاتٍ، وَاحْفَظْ هَذَا الْبَلَدَ مِنْ كُلِّ سُوءٍ
“Ya Allah, jadikan akal kami cahaya, hati kami suci, perempuan kami mulia, dan lindungi negeri ini dari segala keburukan.”
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
