Dalam kitab Nasihatul Mulk karya Imam al-Ghazali, kita diajak merenungkan bahwa akal bukan sekadar alat berpikir. Ia adalah titipan Allah, cahaya yang membedakan manusia dari hewan, dan penuntun agar kuasa tidak melahirkan kebodohan. Akal itu ibarat pelita, sementara kekuasaan adalah ruang luas yang bisa gelap gulita tanpa cahaya.
Di zaman yang penuh hiruk-pikuk, kita melihat betapa sering akal manusia justru “disewakan” kepada penguasa untuk membenarkan kesalahan. Ada ahli hukum yang memelintir aturan, ada intelektual yang merangkai kalimat manis demi menutupi kebijakan zalim. Pada titik inilah pesan Al-Ghazali menjadi sangat relevan: akal harus tetap tegak, tidak tunduk pada kebodohan kekuasaan.
Akal sebagai Cahaya yang Menerangi Kekuasaan
Imam al-Ghazali menulis dengan bahasa yang menusuk hati:
“العقلُ نُورٌ يَهْدِي المَلِكَ إِذَا أَظْلَمَتْ طُرُقُهُ”
“Akal adalah cahaya yang menuntun raja ketika jalan kekuasaannya menjadi gelap.”
Bayangkan seorang raja tanpa cahaya akal—ia seperti pengendara di malam pekat tanpa lampu. Ia bisa tersesat, jatuh, bahkan menabrak rakyatnya sendiri.
Dalam percakapan santai di warung kopi, seorang teman berkata kepada saya:
“Kalau pemimpin kehilangan akal sehat, rakyat jadi kelinci percobaan. Kebijakannya penuh uji coba, yang menanggung salah kita semua.”
Fenomena ini bukan sekadar cerita. Data World Bank (2021) menyebutkan, negara dengan kualitas tata kelola baik (good governance) memiliki angka kemiskinan yang jauh lebih rendah dibanding negara yang dipimpin dengan otoritarianisme tanpa rasionalitas.
Imam al-Ghazali memperingatkan bahaya besar:
“مَنْ أَضَاعَ عَقْلَهُ فِي طَاعَةِ سُلْطَانٍ ظَالِمٍ فَقَدْ خَسِرَ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ”
“Barang siapa menyia-nyiakan akalnya untuk menuruti penguasa zalim, maka ia rugi dunia dan akhirat.”
Betapa tajam kalimat itu. Banyak orang berilmu yang akhirnya terjebak, rela menukar akalnya demi jabatan. Ia menulis pujian palsu, menutup mata pada ketidakadilan, dan berakhir menjadi kaki tangan kekuasaan yang menindas.
Saya pernah bertemu seorang pegawai negeri senior yang mengaku:
“Kadang hati saya ingin protes, tapi kalau bicara jujur bisa hilang jabatan. Akhirnya saya ikut diam saja.”
Diamnya akal orang berilmu justru melukai rakyat kecil. Dan luka itu tidak hanya di dunia, tetapi juga menjadi beban di akhirat.
Dalam Nasihatul Mulk, Al-Ghazali menegaskan:
“أَشَدُّ بَلِيَّةٍ عَلَى المُلْكِ أَنْ يُطْفَأَ نُورُ الْعُقُولِ حَوْلَهُ”
“Bencana terbesar bagi kerajaan adalah padamnya cahaya akal di sekelilingnya.”
Kekuasaan yang dikelilingi orang-orang cerdas namun bisu akan cepat rapuh. Seperti rumah besar tanpa ventilasi, ia akan pengap dan sesak. Karena itu, suara akal yang jernih harus dijaga, walau kadang terdengar pahit bagi telinga penguasa.
Saya teringat satu kisah kecil: seorang guru desa menegur kepala daerah karena jalan rusak di depan sekolahnya. Walau sederhana, keberanian itu menyelamatkan anak-anak dari bahaya. Itulah akal sehat yang bekerja tanpa takut kehilangan apa pun selain kehilangan keberkahan.
Amanah Akal dalam Menopang Peradaban
Imam al-Ghazali menutup nasihatnya dengan kalimat agung:
“العقلُ أَمَانَةٌ، فَإِنْ صُرِفَ فِي الْحَقِّ عَزَّ وَإِنْ صُرِفَ فِي الْبَاطِلِ ذَلَّ”
“Akal adalah amanah. Jika digunakan untuk kebenaran, ia memuliakan. Jika digunakan untuk kebatilan, ia menghinakan.”
Akal tidak bisa diperlakukan sesuka hati. Ia adalah titipan. Ketika digunakan untuk kebenaran, bangsa terangkat martabatnya. Tetapi ketika ia dijual pada kebodohan, peradaban runtuh, seperti yang terjadi pada kerajaan-kerajaan besar yang hilang ditelan sejarah.
Renungan Singkat
Empat Pesan Imam al-Ghazali tentang Akal dan Kekuasaan:
- Akal adalah cahaya penuntun pemimpin dalam kegelapan.
- Akal yang disia-siakan untuk menuruti zalim membawa rugi dunia-akhirat.
- Kerajaan binasa ketika akal sehat di sekelilingnya padam.
- Akal adalah amanah—pengangkat derajat bila dipakai untuk kebenaran.
Langkah Praktis
- Untuk pemimpin: jaga ruang bagi kritik, jangan hanya mendengar pujian.
- Untuk cendekiawan: jangan biarkan akal sehat dipasung oleh jabatan.
- Untuk rakyat: gunakan akal dalam memilih, jangan terjebak pada retorika kosong.
Penutup: Doa agar Akal Tetap Merdeka
Kekuasaan tanpa akal bagaikan kapal besar tanpa nakhoda. Nasihat Imam al-Ghazali mengingatkan kita agar akal jangan pernah disewa untuk kebodohan kekuasaan. Ia adalah titipan Allah yang harus dijaga dengan jujur, agar selamat dunia dan akhirat.
اللَّهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.”
Pertanyaan yang tersisa bagi kita: apakah akal kita hari ini benar-benar merdeka, ataukah sudah perlahan disewakan pada kebodohan yang kita biarkan tumbuh?
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
