Dalam kitab Nasihatul Mulk karya Imam al-Ghazali, kita menemukan untaian kata bijak yang bukan hanya ditujukan kepada seorang raja, tetapi juga kepada siapa saja yang memiliki kuasa—baik kuasa politik, kuasa ilmu, kuasa ekonomi, atau bahkan kuasa kecil dalam rumah tangga. Pesan utama Imam al-Ghazali jelas: pemimpin yang lalai bisa menjerumuskan dirinya sendiri dan rakyatnya ke dalam neraka dunia dan akhirat.
Fenomena ini terasa relevan. Lihatlah berita setiap hari: korupsi merajalela, rakyat menderita, dan suara keadilan kadang hanya jadi bisikan di ruang kecil. Kata bijak dari ulama besar abad pertengahan ini seakan melintasi waktu, menyentuh kita yang hidup di abad penuh kebisingan.
Kekuasaan yang Bisa Jadi Cahaya atau Api
Imam al-Ghazali menulis dengan tegas:
“السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الأَرْضِ، فَإِذَا عَدَلَ فِي الْخَلْقِ نَجَا، وَإِذَا ظَلَمَ هَلَكَ”
“Penguasa adalah bayangan Allah di bumi. Jika ia berlaku adil kepada makhluk, ia selamat. Namun jika ia zalim, ia binasa.”
Kata bijak ini menegaskan bahwa kekuasaan bukan milik pribadi. Ia hanyalah pinjaman dari Tuhan. Pemimpin yang adil membawa cahaya, sedangkan pemimpin yang zalim menyalakan api yang membakar dirinya dan rakyatnya.
Saya pernah berbincang dengan seorang sopir taksi online yang berkata dengan getir:
“Kalau pemimpin jujur, rezeki rakyat ikut lancar. Kalau pemimpin korup, kita ini seperti disedot tenaganya tanpa sisa.”
Hati Pemimpin adalah Hati Negeri
Imam al-Ghazali kembali mengingatkan:
“قَلْبُ الْمَلِكِ نِظَامُ الْعَالَمِ، فَإِذَا صَلَحَ صَلَحَ الْعَالَمُ، وَإِذَا فَسَدَ فَسَدَ الْعَالَمُ”
“Hati seorang raja adalah penopang dunia. Jika ia baik, dunia menjadi baik. Jika ia rusak, dunia ikut rusak.”
Seperti jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, hati pemimpin memompa energi moral kepada rakyat. Bila hatinya penuh kebenaran, kebijakan yang lahir pun membawa keberkahan. Tetapi jika hatinya keruh, seluruh negeri ikut keruh.
Fenomena sosial menguatkan hal ini. Riset Transparency International 2022 menunjukkan, negara dengan kepemimpinan bersih dan hati-hati (seperti Finlandia dan Selandia Baru) menempati posisi tertinggi indeks kebahagiaan rakyat. Artinya, kebersihan hati pemimpin berbanding lurus dengan kesejahteraan warganya.
Bahaya Lidah yang Menjilat
Al-Ghazali tidak hanya menegur raja, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Ia menulis:
“أَعْدَى أَعْدَاءِ الْمُلُوكِ الْمُدَاحُونَ الْكَاذِبُونَ”
“Musuh terbesar bagi raja adalah para penjilat yang berdusta.”
Betapa sering kita melihat pemimpin dikelilingi tepuk tangan palsu. Orang-orang yang seolah-olah memuji, padahal hanya menyelamatkan diri atau mencari keuntungan. Dalam kondisi ini, raja kehilangan cermin yang jernih.
Saya pernah menyaksikan seorang pejabat lokal membuka acara pembangunan. Semua orang menyanjung, “Luar biasa, hebat, bijaksana!” Padahal rakyat tahu, proyek itu penuh mark-up. Itulah penjilat yang disebut Al-Ghazali—musuh dalam selimut.
Takhta Bukanlah Tempat Istirahat
Pesan lain yang menusuk dari Nasihatul Mulk:
“المُلْكُ أَمَانَةٌ ثَقِيلَةٌ، مَنْ حَمَلَهُ بِالْعَدْلِ نَجَا، وَمَنْ حَمَلَهُ بِالظُّلْمِ هَوَى”
“Kekuasaan adalah amanah yang berat. Siapa yang memikulnya dengan adil, selamat. Siapa yang memikulnya dengan zalim, hancur.”
Takhta bukanlah ranjang empuk, melainkan beban di pundak. Dalam bahasa hari ini, jabatan bukan sekadar fasilitas, melainkan ujian.
Dialog singkat seorang pedagang pasar kepada saya masih teringat:
“Pak, kalau jadi pemimpin itu jangan kayak duduk di singgasana, tapi kayak jongkok di tanah: lebih dekat sama rakyat.”
Renungan Singkat
Empat Kata Bijak Imam al-Ghazali tentang Kepemimpinan:
- Pemimpin adil adalah bayangan Allah, pemimpin zalim akan binasa.
- Hati pemimpin menentukan keadaan seluruh negeri.
- Penjilat adalah musuh paling berbahaya bagi raja.
- Kekuasaan adalah amanah yang berat, bukan tempat bersantai.
Langkah Praktis
- Bagi pemimpin: dengarkan kritik yang jujur, bukan hanya pujian yang manis.
- Bagi ulama dan cendekia: suarakan kebenaran, jangan ikut diam di sekitar singgasana.
- Bagi rakyat: berdoa, bekerja, dan tetap berani mengingatkan pemimpin dengan cara yang bermartabat.
Penutup: Doa di Bawah Bayangan Takhta
Kata-kata Imam al-Ghazali bagaikan kompas di tengah rimba. Ia tidak sekadar menegur penguasa, tetapi juga mengingatkan kita semua bahwa setiap orang punya “kerajaan kecil”—keluarga, pekerjaan, lingkungan. Dan semua kerajaan itu akan selamat jika ditopang oleh keadilan.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا مِنْ مَنْ يَخَافُكَ وَيَتَّقِيْكَ، وَيَعْدِلُ فِيْنَا، وَلَا تَجْعَلْ وُلَاةَنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا
“Ya Allah, jadikanlah para pemimpin kami orang yang takut kepada-Mu, adil kepada kami, dan jangan jadikan pemimpin kami orang yang tidak menyayangi kami.”
Pertanyaan terbuka untuk kita: apakah kita sudah berperan menjadi cermin jernih bagi para pemimpin, atau justru membiarkan mereka tenggelam dalam sanjungan palsu?
* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
