Opinion
Beranda » Berita » Ketika Ulama dan Hukama Bungkam, Negeri Jadi Hutan Tanpa Kompas

Ketika Ulama dan Hukama Bungkam, Negeri Jadi Hutan Tanpa Kompas

Hutan lebat tanpa kompas, ulama bungkam, rakyat mencari arah.
Ilustrasi reflektif tentang ulama yang bungkam di tengah hutan bangsa.

Dalam kitab Nasihatul Mulk karya Imam al-Ghazali, ada pesan yang mengguncang: bila ulama dan hukama (orang bijak) memilih bungkam di hadapan penguasa, maka negeri itu ibarat hutan lebat tanpa kompas. Pohonnya rimbun, jalannya banyak, tapi semua orang tersesat. Hikmah dan ilmu bukan sekadar hiasan, melainkan penunjuk arah.

Fenomena ini nyata di sekitar kita. Banyak persoalan sosial, politik, dan moral yang berlapis. Namun, suara-suara kebijaksanaan seringkali tenggelam dalam hiruk pikuk retorika kosong.

Seorang kawan di warung kopi pernah bergumam lirih:

“Kalau ulama diam, siapa yang harus kita dengar?”
“Ya itulah, akhirnya kita cuma dengar orang yang paling keras teriak, bukan yang paling jernih pikir.”

Sunyi yang Membuat Negeri Gelap

Imam al-Ghazali menulis:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“إِذَا صَمَتَ الْعُلَمَاءُ عَنِ النُّصْحِ، وَسَكَتَ الْحُكَمَاءُ عَنِ الْمَوْعِظَةِ، فَسَدَ الزَّمَانُ، وَعَمَّ الْخُسْرَانُ”

“Apabila ulama enggan memberi nasihat, dan hukama menahan diri dari memberi peringatan, maka rusaklah zaman dan kerugian akan merata.”

Bungkamnya orang berilmu membuat masyarakat kehilangan cahaya. Apa yang seharusnya lurus menjadi bengkok, apa yang seharusnya adil berubah timpang.

Al-Qur’an mengingatkan:

“كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

(QS. Ali Imran: 110)
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.”

Namun ketika tugas itu ditinggalkan, umat kehilangan identitasnya.

Lidah yang Menjadi Amanah

Dalam satu bagian lain, Al-Ghazali menulis:

“اللِّسَانُ أَمَانَةٌ، فَإِنْ لَمْ يُصْرَفْ فِي الْحَقِّ كَانَ خِيَانَةً”

“Lidah adalah amanah. Bila tidak digunakan untuk kebenaran, maka ia menjadi pengkhianatan.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Ulama dan orang bijak punya beban berat. Diam bisa berarti menjaga, tetapi diam di hadapan kebatilan bisa berubah jadi pengkhianatan.

Saya teringat kisah seorang guru di kampung. Ketika ada praktik pungutan liar di sekolah, ia tetap menegur kepala sekolahnya meski dengan risiko dimutasi. “Kalau saya diam, murid-murid belajar bahwa kezaliman itu wajar,” katanya. Itu contoh lidah yang menjaga amanah.

Ketika Ilmu Tak Lagi Jadi Pelita

Imam al-Ghazali mengingatkan keras:

“عَالِمٌ سُوءٍ أَشَدُّ عَلَى الدِّينِ مِنْ جَيْشٍ مُسَلَّحٍ”

“Seorang alim yang buruk lebih berbahaya bagi agama daripada pasukan bersenjata.”

Ilmu tanpa keberanian moral bisa lebih menakutkan daripada senjata. Karena senjata hanya melukai tubuh, sementara ulama palsu bisa menyesatkan jiwa.

Fenomena hoaks agama, ustaz dadakan di media sosial, atau orang pintar yang menjual ilmunya demi popularitas, adalah bentuk nyata peringatan ini. Riset LIPI tahun 2021 menunjukkan, lebih dari 40% masyarakat Indonesia pernah terpapar konten keagamaan yang bermuatan politik kepentingan.

Rakyat yang Rindu Kompas

Saya ingat percakapan seorang sopir angkot dengan penumpangnya:

“Sekarang ini banyak jalan, tapi nggak jelas mana arah benar.”
“Karena kompasnya disimpan, Pak. Padahal kita butuh penunjuk.”

Ulama dan hukama adalah kompas itu. Mereka tidak sekadar mengarahkan ke mana bangsa melangkah, tetapi juga menjaga agar langkah tetap dalam koridor moral.

Renungan Singkat

Empat Pelajaran Imam al-Ghazali tentang Diamnya Ulama:

  1. Bungkam ulama dan hukama merusak zaman.
  2. Lidah adalah amanah; diam di hadapan kebatilan berarti khianat.
  3. Ulama palsu lebih berbahaya daripada senjata.
  4. Rakyat tanpa bimbingan seperti pejalan di hutan tanpa kompas.

Langkah Praktis

  • Bagi ulama dan orang bijak: jangan menunggu panggung besar. Suara kecil yang jernih lebih bernilai daripada diam yang mewah.
  • Bagi masyarakat: jangan hanya mendengar yang keras suaranya, dengarlah yang bening hatinya.
  • Bagi kita semua: mulai dari lingkup terkecil, gunakan lidah untuk menegakkan kebenaran.

Penutup: Doa di Tengah Hutan

Kita hidup di negeri yang besar, indah, dan penuh potensi. Namun tanpa kompas, semua bisa jadi hutan yang menyesatkan. Ulama dan hukama adalah penunjuk arah. Bila mereka bungkam, kita berjalan sendiri dalam rimba.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ مَنْ يَقُودُهَا بِالْحِكْمَةِ، وَيَنْطِقُ بِالْحَقِّ، وَلَا يَخْشَى فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

 

“Ya Allah, hadirkanlah bagi umat ini pemimpin yang memandu dengan hikmah, berbicara dengan kebenaran, dan tidak takut celaan siapa pun.”

Pertanyaan tersisa bagi kita semua: apakah kita rela menjadi kompas kecil di lingkungan kita, atau memilih bungkam dan membiarkan hutan makin gelap?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement