Pesan klasik dari Nasihatul Mulk karya Imam al-Ghazali masih bergaung di hati umat hingga hari ini: “Kalau cita-cita pemimpin kecil, rakyatnya jadi bangsa kerdil.” Kalimat itu bukan hanya peringatan bagi raja dan sultan di abad pertengahan, tetapi juga sindiran bagi kita semua yang mengemban peran sebagai pemimpin—entah di rumah, kantor, organisasi, bahkan di lingkar pertemanan.
Saya teringat obrolan seorang bapak tukang becak di terminal:
“Kalau pejabat maunya proyek kecil buat keluarganya, ya rakyatnya nggak akan pernah punya harapan besar.”
“Iya, pemimpin itu kayak payung. Kalau payungnya kecil, banyak rakyat kehujanan.”
Pemimpin adalah penentu arah. Jika yang ia kejar hanya perut kenyang dan keturunan berjaya, maka seluruh rakyat akan ikut terseret ke dalam lingkar sempit itu. Tetapi jika pemimpin menyalakan cita-cita besar, negeri ini bisa melompat keluar dari jebakan kerdilnya.
Nafas Kepemimpinan yang Menghidupkan
Imam al-Ghazali menulis dalam Nasihatul Mulk:
“إِنَّ الْمُلْكَ لَا يَسْتَقِيمُ إِلَّا بِسِعَةِ الْهَمِّ وَكِبَرِ الْمَقْصَدِ”
“Kerajaan tidak akan tegak kecuali dengan keluasan tekad dan besarnya tujuan.”
Makna nasihat ini terasa sangat aktual. Negeri yang dipimpin oleh orang-orang berwawasan sempit akan terjebak dalam lingkaran kebutuhan sesaat. Mereka membangun hanya untuk hari ini, bukan untuk generasi esok. Padahal kepemimpinan sejati adalah membayangkan seratus tahun ke depan, bukan sekadar lima tahun jabatan.
Ketika Lidah Pemimpin Menjadi Doa
Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ disebutkan:
“إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ”
“Sesungguhnya imam (pemimpin) adalah perisai, umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan: pemimpin bukan sekadar figur politik, melainkan perisai moral dan sosial. Setiap kata-kata pemimpin, bagai doa yang diikuti rakyat. Jika lidahnya kecil—berbicara tentang proyek pribadi, harta, atau kursi—maka doa negeri pun ikut mengecil. Tapi bila ia berkata dengan cita-cita besar—tentang keadilan, martabat, ilmu—maka doa itu mengangkat seluruh bangsa.
Fenomena Negeri yang Tersandera Nafsu
Al-Ghazali kembali mengingatkan:
“إِذَا صَغُرَتْ هِمَّةُ الْمَلِكِ صَغُرَتْ هِمَمُ الرَّعِيَّةِ”
“Apabila kecil himmah (cita-cita) seorang raja, kecil pula cita-cita rakyatnya.”
Kita bisa menyaksikan gejalanya di zaman ini. Ketika pejabat hanya mengejar popularitas media, rakyat ikut-ikutan mengejar viralitas kosong. Ketika pemimpin menganggap jabatan sebagai ladang bisnis, rakyat pun belajar bahwa cara tercepat mencari rezeki adalah dengan menipu. Inilah rantai kepemimpinan: rakyat mencerminkan wajah penguasanya.
Riset sosial menunjukkan, indeks kepercayaan publik di Indonesia menurun ketika kasus korupsi pejabat meningkat (LIPI, 2022). Kepercayaan itu ibarat oksigen bagi bangsa. Jika pemimpin hanya berpikir kecil, oksigen itu makin menipis, rakyat pun hidup sesak.
Jejak Pemimpin yang Berpikir Besar
Namun sejarah juga mencatat, ada pemimpin yang mampu mengubah arah bangsa dengan cita-cita besar. Kita mengenang khalifah Umar bin Abdul Aziz yang hanya berkuasa dua tahun, tetapi berhasil menekan kesenjangan hingga hampir tidak ada lagi rakyat yang berhak menerima zakat. Itu karena cita-citanya luas: bukan mengenyangkan perut, tapi membangun keadilan.
Imam al-Ghazali menulis pula:
“إِنَّ الْمَلِكَ إِذَا كَانَ عَادِلًا رَحِيمًا كَانَتْ رَعِيَّتُهُ عَلَى ذَلِكَ”
“Sesungguhnya bila seorang raja adil dan penuh kasih, maka rakyatnya pun akan demikian.”
Di era sekarang, kita melihat kilatan cahaya dari beberapa pemimpin lokal yang memotong gajinya untuk beasiswa, atau membuka ruang dialog terbuka dengan warganya. Hal-hal sederhana itu menyalakan kembali cita-cita besar yang pernah hampir padam.
Renungan Singkat
Tiga Pertanda Pemimpin dengan Cita-Cita Besar
- Ia membicarakan generasi masa depan, bukan hanya masa jabatannya.
- Ia rela lapar agar rakyatnya kenyang, bukan sebaliknya.
- Ia adil dan penuh kasih, sehingga rakyat meniru sifat itu.
Langkah Praktis
- Mulailah dari lingkar kecil: jadilah pemimpin keluarga yang mengajarkan anak tentang mimpi, bukan sekadar kebutuhan.
- Jangan terjebak pada keinginan sesaat; latih diri berpikir melampaui kenyamanan pribadi.
- Dukung pemimpin yang menyalakan harapan bersama, bukan yang sibuk membesarkan dinasti keluarganya.
- Ingat selalu doa Nabi ﷺ: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim).
Penutup: Doa agar Negeri Tidak Mengecil
Pemimpin dengan cita-cita besar adalah anugerah. Tanpa mereka, bangsa hanya akan mengecil, mengecil, hingga menjadi kerdil di hadapan sejarah.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا أَهْلَ الْكِبَرِ فِي الْمَقَاصِدِ، وَالْعَدْلِ فِي الْحُكْمِ، وَالرَّحْمَةِ فِي الْقَلْبِ
“Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami orang-orang yang besar cita-citanya, adil dalam keputusannya, dan penuh rahmat dalam hatinya.”
Maka pertanyaan yang pulang ke dada kita masing-masing: apakah kita sudah menyalakan cita-cita besar, atau masih terjebak dalam lingkaran kecil bernama perut dan ego?
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
