Opinion
Beranda » Berita » Raja Hidup untuk Cita-Cita Besar, Bukan untuk Perut dan Keturunan

Raja Hidup untuk Cita-Cita Besar, Bukan untuk Perut dan Keturunan

Raja hidup untuk cita-cita besar, bukan untuk perut dan keturunan.
Ilustrasi seorang raja membawa obor, meninggalkan bayangan perut dan rantai dinasti.

Di tengah riuh dunia modern, pesan klasik Imam al-Ghazali dalam kitab Nasihatul Mulk terasa seolah ditujukan untuk kita hari ini. Ia menegaskan bahwa seorang raja hidup untuk cita-cita besar, bukan untuk perut dan keturunan. Kalimat itu menyengat, sebab di setiap level kehidupan—dari presiden hingga kepala keluarga—seringkali orang terjebak hanya memikirkan kenyamanan pribadi, sementara tanggung jawab besar diabaikan.

Seorang kawan pernah berkelakar di angkringan:

“Kalau pejabat cuma mikir isi perutnya, ya rakyatnya hanya dapat ampas.”
“Benar, dan ironisnya perut itu tak pernah kenyang.”

Al-Ghazali mengingatkan: pemimpin sejati adalah ia yang mengorbankan kenyamanan pribadinya demi cita-cita yang melampaui dirinya. Ia tidak hidup untuk silsilah, warisan harta, atau nama keluarga. Ia hidup untuk menyalakan obor peradaban.

Nafsu Perut yang Menyandera Negeri

Dalam Nasihatul Mulk, al-Ghazali menulis:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“إِنَّ الْمَلِكَ إِذَا جَعَلَ هَمَّهُ بَطْنَهُ وَفَرْجَهُ فَقَدْ هَلَكَ وَأَهْلَكَ”
“Sesungguhnya seorang raja, bila hanya menjadikan perut dan syahwatnya sebagai tujuan, maka ia binasa dan membinasakan.”

Betapa jelas nasihat ini. Ketika pemimpin sibuk memperkaya diri, mengutamakan dinasti politik, atau menjadikan jabatan sebagai ladang warisan, yang terjadi bukan lagi kepemimpinan, melainkan perniagaan atas nasib rakyat.

Fenomena itu nyata kita lihat hari ini. Ada pejabat yang menumpuk proyek hanya untuk kelompoknya, ada pemimpin lokal yang sibuk membangun monumen namanya, tetapi lupa jalan desa yang rusak. Di titik itu, negeri perlahan runtuh bukan karena bencana alam, tetapi karena kerakusan perut.

Kehormatan yang Lebih Tinggi dari Keturunan

Imam al-Ghazali menulis dalam nasihatnya:

“لَيْسَ الْمُلْكُ بِكَثْرَةِ الْمَالِ وَلَا بِالْعَشِيرَةِ، إِنَّمَا الْمُلْكُ بِالْعَدْلِ وَحُسْنِ السِّيَاسَةِ”
“Kerajaan itu bukan dengan banyak harta atau banyak kerabat. Sesungguhnya kerajaan itu berdiri dengan keadilan dan kebijakan yang baik.”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Kalimat ini seperti palu yang memecah ilusi. Banyak penguasa merasa kokoh karena kerabatnya banyak, partainya besar, hartanya berlimpah. Padahal, yang membuat suatu negeri berdiri tegak hanyalah keadilan.

Saya teringat kisah seorang kepala desa sederhana di Blitar yang memutuskan untuk tidak melibatkan keluarganya dalam proyek desa. Ia berkata, “Kalau saya kasih semua ke keluarga, apa bedanya saya dengan lintah?” Sikap ini membuat rakyat percaya, dan desa kecil itu tumbuh rukun, jauh dari konflik yang sering terjadi di tempat lain.

Pemimpin yang Menghidupkan Harapan

Ada bagian lain dari Nasihatul Mulk yang berbunyi:

“إِنَّ الْمَلِكَ مَوْضُوعٌ لِحِفْظِ الدِّينِ وَإِقَامَةِ الْعَدْلِ”
“Sesungguhnya raja ditempatkan untuk menjaga agama dan menegakkan keadilan.”

Inilah cita-cita besar yang dimaksud. Seorang raja, gubernur, bupati, bahkan ayah dalam rumah tangga—hidup bukan untuk memenuhi kenyamanan pribadi, tetapi untuk menjaga nilai dan menegakkan keadilan.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Bayangkan bila cita-cita itu dihidupkan kembali. Pemimpin negeri menjaga martabat agama, memberi ruang hidup bagi perbedaan, serta memastikan rakyat kecil mendapat haknya. Rakyat tidak lagi menunduk karena lapar, tapi menengadah penuh harapan.

Negeri yang Diselamatkan oleh Amanah

Al-Ghazali juga berpesan:

“إِنَّ الْمُلْكَ أَمَانَةٌ، فَمَنْ جَعَلَهُ مَغْنَمًا كَانَ خَوَانًا”
“Kerajaan itu adalah amanah, maka siapa yang menjadikannya sebagai keuntungan pribadi, ia adalah pengkhianat.”

Kata amanah di sini menggema sampai hari ini. Riset terbaru Transparency International (2023) menempatkan Indonesia masih dalam level rawan korupsi dengan skor CPI 34/100. Angka itu mengingatkan bahwa banyak pemimpin belum benar-benar memahami jabatan sebagai amanah, melainkan masih sebagai maghnam—ladang harta.

Namun kita juga melihat titik cahaya. Ada kepala daerah yang membuka semua anggaran secara transparan di media sosial. Ada pejabat yang menolak fasilitas mewah dan memilih naik transportasi umum. Meski kecil, langkah ini menyalakan harapan. Negeri tidak pernah kekurangan cahaya, hanya sering tertutup awan kerakusan.

Renungan Singkat

Empat Inti Nasihat Imam al-Ghazali tentang Raja

  1. Pemimpin hidup untuk cita-cita besar, bukan nafsu perut.
  2. Keadilan lebih kuat daripada harta dan kerabat.
  3. Jabatan adalah amanah, bukan ladang keuntungan.
  4. Pemimpin yang menjaga agama dan keadilan menyalakan harapan rakyat.

Langkah Praktis

  • Latih diri untuk memimpin lingkar kecil: keluarga, kelas, komunitas—dengan adil, bukan serakah.
  • Belajar berkata “cukup” pada perut sendiri agar bisa berkata “cukup” saat memimpin orang lain.
  • Dukung pemimpin yang amanah, bukan hanya yang pandai berjanji.
  • Ingat: setiap keputusan kita adalah warisan, bukan sekadar untuk keturunan, tapi untuk peradaban.

Penutup: Doa di Balik Cita-Cita

Pada akhirnya, nasihat al-Ghazali bukan sekadar untuk raja dalam arti politik, melainkan untuk siapa saja yang diberi amanah memimpin, sekecil apapun lingkarannya.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا قَادَةً بِالْحَقِّ، وَاحْفَظْنَا مِنْ شَرَفِ الْمَنْصِبِ وَغُرُوْرِهِ

“Ya Allah, jadikanlah kami pemimpin dengan kebenaran, dan lindungilah kami dari fitnah jabatan dan kesombongannya.”

Maka pertanyaan yang tertinggal: apakah kita sudah hidup untuk cita-cita besar, atau masih sibuk mengejar perut dan keturunan?


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement