SURAU.CO. Perkawinan beda agama tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga berkaitan dengan keluarga besar, norma agama, dan aturan negara. Ketika dua orang berbeda keyakinan ingin menikah, perdebatan langsung muncul. Di satu sisi, setiap orang memiliki hak untuk memilih pasangan hidup. Namun, di sisi lain, hukum Indonesia membatasi ruang dengan merujuk pada aturan agama. Karena itu, perkawinan beda agama selalu menjadi isu hangat yang menyatukan ranah hukum, sosial, dan politik.
Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi acuan utama. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan sah bila sesuai hukum agama masing-masing. Kemudian, Pasal 2 ayat (2) mengharuskan pencatatan perkawinan di lembaga negara. Akibatnya, hukum agama selalu menentukan sah atau tidaknya perkawinan sebelum negara mencatatnya. Karena hampir semua agama yang diakui di Indonesia menolak perkawinan beda agama, maka jalur legal bagi pasangan berbeda keyakinan sangat sempit.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Tegas
Perdebatan tentang perkawinan beda agama pernah sampai ke Mahkamah Konstitusi. Pada Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014, MK menolak permohonan uji materi. MK menegaskan bahwa negara hanya mencatat, bukan melegalkan perkawinan yang tidak sesuai aturan agama. Selanjutnya, Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 memperkuat pandangan yang sama. Oleh karena itu, gagasan perkawinan sipil netral agama tidak memiliki landasan hukum di Indonesia.
Praktik di Lapangan dan SEMA Mahkamah Agung
Meskipun aturan hukum terlihat jelas, praktik di pengadilan menunjukkan variasi. Beberapa Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Hakim beralasan bahwa setiap orang memiliki hak asasi dan kebebasan individu. Namun, keputusan itu menimbulkan perdebatan karena berbeda dengan UU Perkawinan.
- Kasus Bekasi (2022): PN Bekasi melalui Putusan No. 91/Pdt.P/2022/PN Bks mengizinkan pasangan Kristen dan Islam mencatatkan perkawinan.
- Kasus Jakarta Pusat (2023): PN Jakpus melalui Putusan No. 155/Pdt.P/2023/PN Jkt.Pst mengabulkan permohonan pasangan Islam–Katolik dengan dasar UU Administrasi Kependudukan.
- Kasus Surabaya (2022): PN Surabaya melalui Putusan No. 916/Pdt.P/2022/PN.Sby menerima permohonan pasangan berbeda agama meski bertentangan dengan UU Perkawinan.
Akan tetapi, Mahkamah Agung merespons ketidakseragaman ini dengan menerbitkan SEMA Nomor 2 Tahun 2023. SEMA tersebut menginstruksikan pengadilan untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Dengan begitu, ruang yang sempat terbuka kini tertutup.
Jalan Alternatif di Luar Negeri
Sebagian pasangan mencari jalur lain melalui perkawinan di luar negeri. Pasal 56 UU Perkawinan memberikan ruang bahwa perkawinan sah menurut hukum negara setempat dapat diakui di Indonesia. Setelah itu, pasangan wajib melaporkannya ke kantor catatan sipil. Namun, meskipun sah secara administratif, masalah tetap muncul. Komunitas agama sering menolak perkawinan semacam ini sehingga pasangan tetap menghadapi dilema.
Selain menikah di luar negeri, sebagian pasangan menggunakan jalan lain, yaitu berpindah agama sementara. Langkah ini sering disebut “mualaf temporer.” Praktik tersebut menimbulkan kritik karena memanfaatkan agama sebagai jalan pintas administratif, bukan sebagai keyakinan tulus.
Dampak Sosial dan Administratif
Perkawinan beda agama tidak hanya memicu masalah hukum, tetapi juga masalah sosial. Anak-anak dari perkawinan tersebut sering menghadapi kebingungan dalam pencatatan agama di akta kelahiran atau kartu keluarga. Kemudian, persoalan waris juga muncul karena aturan agama berbeda mengenai hak anak dari orang tua berbeda agama.
Selain itu, tekanan sosial dari keluarga besar dan masyarakat sering membuat pasangan merasa terasing. Banyak pasangan akhirnya memilih kompromi, misalnya salah satu pihak berpindah agama permanen atau menikah dua kali dengan prosedur berbeda. Pilihan itu memang menyelesaikan masalah administratif, tetapi menimbulkan beban psikologis yang berat.
Realitas Hukum dan Dinamika Sosial
Hukum formal tetap tegas, negara hanya mencatat perkawinan yang sah menurut agama. Namun, realitas sosial terus bergerak. Sebagian pasangan nekat mencari celah hukum, sebagian lainnya menempuh jalur luar negeri, sementara yang lain mengambil kompromi pribadi. Karena itu, isu ini tidak pernah berhenti dibicarakan.
Di satu sisi, masyarakat menuntut penghormatan terhadap hak individu. Namun, di sisi lain, hukum perkawinan berbasis agama tetap menjadi fondasi hukum nasional. Akibatnya, pertentangan antara hak asasi dan aturan agama selalu menjadi bahan perdebatan.
Hukum tentang perkawinan beda agama di Indonesia menegaskan bahwa agama memegang peran utama. Negara hanya mencatat, bukan mengesahkan. Putusan MK dan SEMA MA memperkuat aturan tersebut, meskipun praktik di pengadilan sempat menunjukkan keragaman. Setelah terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, peluang perkawinan beda agama di jalur pengadilan praktis tertutup.
Akhirnya, pasangan beda agama tetap menghadapi dilema besar, mengikuti aturan hukum dan agama, mencari jalan alternatif di luar negeri, atau memilih kompromi pribadi. Dengan begitu, perkawinan beda agama di Indonesia akan terus menjadi isu hangat yang menyinggung ranah hukum, sosial, dan moral.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
