SURAU.CO – Secara umum ajaran Islam menginginkan manusia untuk hidup dengan hal yang baik-baik saja. Ini termasuk dalam hal konsumsi dan produksi sehingga dapat membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Dalam konsep Maqashid Syariah sebagaimana yang asy-Syatibi ungkapkan hal ini dengan istilah mashlahah.Yang maknanya lebih luas dari sekadar kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional.
Maqashid syariah
Maqashid syariah merupakan perwujudan dari unsur mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam kehidupan, baik untuk dunia maupun untuk kehidupan akhirat. Karena tujuan syariat kepada manusia pada dasarnya adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan.
Al-Syatibi mendefinisikan maqashid syariah sebagai hukum-hukum yang Allah syariatkan untuk menegakkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia.
Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi mendefinisikan maqashid al-syariah sebagai tujuan-tujuan yang nas-nas kehendaki baik berupa perintah, larangan serta ibahat (kebolehan). Tujuan itu ingin mengarahkan hukum-hukum yang bersifat juziyyah (parsial) pada seluruh aspek kehidupan mukalaf sehingga membawa kemaslahatan bagi umat manusia.
Maṣlahah sebagai al-muhafazah ‘ala maqṣud al-syara’
Imam al-Ghazali mendefinisikan maṣlahah dengan: al-muhafaẓah ‘ala maqṣud al-syara’ (penjagaan terhadap tujuan syara’); tujuan syara’ terhadap manusia meliputi lima perlindungan: memelihara dan melindungi keperluan manusia pada bidang agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Semua yang dapat melindungi lima hal utama tersebut adalah maṣlahah dan semua yang dapat merusak lima hal utama tersebut ialah mudarat/mafsadah, dan sebaliknya menghilangkan yang mendatangkan mudarat/mafsadah adalah maṣlahat.
Definisi Maslahah
Menurut Jalal al-Din Abd al-Rahman maslahah dengan makna luas adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, yang dapat manusia raih dengan cara memperolehnya maupun dengan cara menghindarinya. Seperti halnya menghindari perbudakan yang tentu membahayakan manusia.
Al-Khawarizmi berpendapat, maslahah ialah pemeliharaan terhadap maksud syara’ dengan menolak kerusakan-kerusakan terhadap makhluk (manusia).
Dari penjelasan al-Khawarizmi ini dapat kita pahami bahwa ukuran sesuatu itu merupakan maṣlahah atau tidak adalah hukum syara’, bukan rasionalitas akal semata.
At-Thufy berpendapat bahwa mashlahah adalah “sebab yang membawa kebaikan, seperti bisnis yang membawa keuntungan”.
Sementara itu, menurut pandangan hukum Islam adalah sebab yang dapat mengantarkan kepada tercapainya tujuan hukum Islam baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah”.
Muhammad Abu Zahra,“kemaslahatan yang selaras dengan tujuan hukum yang syara’ tetapkan (Allah SWT dan rasul-Nya), tetapi tidak ada suatu dalil spesifik yang menerangkan tentang terakuinya ataupun tertolaknya kemaslahatan itu”.
Ibnu Asyur mendefinisikan maslahah sebagai perbuatan yang menghasilkan kebaikan dan manfaat yang bersifat terus menerus baik untuk orang banyak ataupun individu.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, syariat Islam bersumber dari nilai-nilai ilahiyah, dan dari hasil telaahan terhadap ketetapan hukum-hukuman. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa syariat membawa kemaslahatan.
Hal tersebut juga selaras dengan apa yang telah al Syatibi kemukakan, bahwa tujuan disyariatkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan umum maslahah
Maṣlahah yang ingin tercapai dalam tasyri’ hanyalah bersifat umum secara mutlak, bukan yang bersifat khusus, yaitu tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia dalam arti hakiki, merealisasikan kemaslahatan hamba, dan menolak kerusakan untuk kesempurnaan hidup dunia dan akhirat, bukan kemaslahatan yang berdasarkan hawa nafsu
Dari beberapa definisi tersebut terlihat bahwa tujuan umum ketika Allah SWT. menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan terpenuhinya kebutuhan yang dharūriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah.
Capaian kemaslahatan oleh syari‘ah adalah bersifat umum (kolektif dan keseluruhan) dan universal (berlaku sepanjang waktu dan sepanjang kehidupan manusia).
Maslahah dalam konteks konsumsi
Terkait dengan konteks konsumsi, pengertian maslahat sebagaimana yang telah terurai sebelumnya bersifat sangat relatif karena individu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Artinya pola konsumsi seseorang tidak mesti sama dengan pola konsumsi orang lainnya karena kadar kebutuhan yang berbeda-beda. Akan tetapi, masing-masing individu berkewajiban untuk memahami kadar kemaslahatan bagi dirinya sendiri.
Misalnya, jika si A mengonsumsi nasi dengan kadar lemak yang banyak memberikan kebaikan dalam hal menambah energinya bekerja dan beribadah. Tetapi bagi si B mungkin akan mendatangkan kemudaratan karena kadar kolesterol yang tinggi. Untuk itu, batasan bagi seseorang akan membawa maslahat bagi dirinya sendiri harus ia perhatikan dengan ketat dengan berpedoman kepada lima perlindungan sebelumnya yaitu melindungi manusia dalam agama, jiwa, akal, keturunan dan harta serta lingkungan dan kehormatan.
Maslahah dalam konteks produksi
Dalam konteks produksi, seorang produsen juga berpegang pada batasan-batasan yang teesebut. Artinya ketika memproduksi suatu barang atau jasa, batasan tersebut harus selalu menjadi acuan tentang boleh tidaknya suatu barang mereka produksi. Hal ini tentu berbeda dengan konsep produksi dalam ekonomi konvensional yang hanya berpatokan pada maksimalisasi keuntungan. Ini berkonsekuensi pada pelanggaran nilai-nilai moral yang dapat memberikan kemudaratan bagi manusia.(St.Diyar)
Referensi: Azharsyah Ibrahim, dkk, Pengantar Ekonomi Islam, 2021
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
