SURAU.CO – Dalam pandangan Islam, produksi berarti upaya mengolah sumber daya alam agar menghasilkan bentuk terbaik yang mampu memenuhi kemaslahatan manusia. Pandangan ini melarang produsen untuk memproduksi sesuatu yang merusak akidah, melucuti identitas umat, memudarkan nilai-nilai agama dan akhlak. Selanjutnya perspektif Islam melarang pula produksi itu berpotensi menyibukkan manusia pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkannya dari keseriusan, mendekatkan pada kebatilan, menjauhkan dari kebenaran, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, dan hanya bermotif pada keuntungan material semata.
Produksi: menciptakan utilitas halal dan manfaat
Mannan mendefinisikannya sebagai proses ‘penciptaan utilitas’ yang halal dan bermanfaat bagi kesejahteraan ekonomi dari perspektif ajaran Islam. Menurutnya, peningkatan produksi barang-barang yang bermanfaat merupakan satu syarat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dalam Islam.
Senada dengan itu, Akhtar mengatakan bahwa aktivitas ini harus merenungkan pertanyaan moralitas, pendidikan, agama, dan banyak hal lainnya. Sejalan dengan pendapat Mannan, Akhtar juga melihat urgensi masuknya aspek moral adalah untuk memaksimalkan utilitas sumber daya manusia dan sumber daya alam melalui keterlibatan sebanyak mungkin orang dalam proses tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Rasulullah SAW. bersabda:
“Barang siapa yang menciptakan kemudaratan/kejahatan, dan orang lain mengikuti kemudaratan tersebut maka ia akan mendapat dosa dari perbuatan itu dan akan mendapat dosa dari setiap orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.” (H.R. Ahmad, Muslim, Turmudzi, Nasai, dan Ibnu Majah dari Jahir).
Produksi: sarana memperbaiki kondisi dan material
Selanjutnya, Kahf mendefinisikannya sebagai sarana manusia untuk memperbaiki kondisi dan material dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dalam ajaran Islam.
Kebahagiaan dapat terwujud ketika orang mampu menghasilkan kecukupan dalam kesejahteraan ekonomi. Definisi ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ ٱللَّهِ ٱلَّتِيٓ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِۦ وَٱلطَّيِّبَٰتِ مِنَ ٱلرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فِي ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ
“Katakanlah (Muhammad), siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. al-A’raf [7]: Ayat 32).
Dalam Islam, produksi sebagai kewajiban karena bagian dari tugas manusia sebagai khalifah Allah untuk memakmurkan bumi dengan segala sumber daya yang telah Allah berikan. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran:
آيَةٞ لَّهُمُ ٱلۡأَرۡضُ ٱلۡمَيۡتَةُ أَحۡيَيۡنَٰهَا وَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهَا حَبّٗا فَمِنۡهُ يَأۡكُلُونَ, وَجَعَلۡنَا فِيهَا جَنَّٰتٖ مِّن نَّخِيلٖ وَأَعۡنَٰبٖ وَفَجَّرۡنَا فِيهَا مِنَ ٱلۡعُيُونِ , لِيَأۡكُلُوا۟ مِن ثَمَرِهِۦ وَمَا عَمِلَتۡهُ أَيۡدِيهِمۡۚ أَفَلَا يَشۡكُرُونَ
“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan. Dan Kami jadikan padanya bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air. Agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari hasil usaha tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?” (Q.S. Yasin [36]: 33-35);
وَأَنزَلْنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ
“…Dan kami ciptakan besi yang daripadanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia”… (Q.S Al-Hadid [57]: 25).
Produksi dalam perspektif Islam
Dalam beberapa definisi tersebut terlihat bahwa dalam ekonomi konvensional, tujuan utama produksi adalah memaksimalkan keuntungan. Teori ini hakikatnya untuk memberikan pemahaman tentang perilaku perusahaan (produsen) dalam membeli dan menggunakan input (bahan baku) untuk produksi dan menjualnya kembali dalam bentuk produk (output).
Dalam perspektif Islam, memproduksi tidak hanya berorientasi pada maksimalisasi keuntungan, meskipun juga tidak dilarang. Akan tetapi, lebih kepada menyeimbangkan antara manfaat individu dan masyarakat.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya Islam tidak menolak motif produksi yang ada dalam sistem ekonomi konvensional, tetapi mengintegrasikan nilai-nilai moral pada setiap manfaat ekonominya sehingga ia juga bisa bernilai ibadah yang berkonsekuensi akhirat.
Berkaitan dengan manfaat kegiatan ini dalam ekonomi Islam, ada beberapa persyaratan harus terpenuhi. Pertama sesuai syariat Islam, yang sejalan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Alquran dan hadis, ijmak, dan qiyas. Tidak mengandung unsur-unsur yang dapat membahayakan orang lain. Kemudian cakupan manfaat produksi dalam ekonomi Islam meliputi dunia dan akhirat.
Dengan demikian, dalam perspektif Islam, produksi bukan hanya aktivitas ekonomi semata. Melainkan juga suatu bentuk ibadah dan amanah untuk memakmurkan bumi. Setiap produk harus berorientasi pada kemaslahatan, menjauhi kemudaratan, serta memperhatikan nilai halal, thayyib, dan keberlanjutan.(St.Diyar)
Referensi: Azharsyah Ibrahim, dkk, Pengantar Ekonomi Islam, 2021
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
