Ekonomi
Beranda » Berita » Ketika Petugas Pajak Menjadi Pemeras: Peringatan Keras dari Islam

Ketika Petugas Pajak Menjadi Pemeras: Peringatan Keras dari Islam

Ketika Petugas Pajak Menjadi Pemeras: Peringatan Keras dari Islam
Ketika Petugas Pajak Menjadi Pemeras: Peringatan Keras dari Islam. (Foto: istimewa)

SURAU.CO – Dalam kehidupan bernegara, pajak sering disebut sebagai salah satu tulang punggung pembangunan. Pemerintah menggunakan pajak untuk membiayai pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga program sosial. Secara prinsip, warga negara wajib membayar pajak demi keberlangsungan pemerintahan. Namun, masalah muncul ketika oknum petugas pajak menyalahgunakan jabatan. Alih-alih mengabdi pada rakyat, justru mereka bertindak sebagai pemeras yang membebani masyarakat. Islam memandang perbuatan ini berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat.

Pajak dalam Perspektif Islam

Islam menekankan pentingnya keadilan dalam pengelolaan harta. Konsep dalam sistem perpajakan berbeda dengan zakat, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk kesejahteraan bersama. Umat ​​Islam wajib menunaikan zakat sesuai syariat, sedangkan pajak merupakan kewajiban yang ditetapkan pemerintah demi kepentingan publik.

Lebih jauh lagi, Al-Qur’an menegaskan bahwa harta hanyalah titipan Allah, bukan milik pribadi semata. Allah berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 7:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.”

Ayat ini menuntun umat agar menggunakan harta secara benar, termasuk dalam hal pajak. Dengan demikian, pajak yang dipungut secara adil, transparan, dan sesuai aturan, sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Bahaya Memeras Rakyat

Selanjutnya, kita perlu memahami bahwa petugas pajak memikul amanah berat. Mereka menerima kepercayaan untuk mengatur pemasukan negara dari keringat rakyat. Jika mereka amanah, maka Allah menilainya sebagai orang mulia karena telah menegakkan keadilan sosial.

Sebaliknya, ketika mereka memanfaatkan jabatan untuk memeras, menuntut lebih dari ketentuan, atau menerima suap demi meringankan kewajiban tertentu, mereka termasuk golongan orang yang zalim. Rasulullah SAW bersabda:

Tidak akan masuk surga orang yang memakan harta dengan cara curang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Memeras rakyat berarti merampas hak kepada orang lain. Uang pajak hasil pemerasan tidak membawa berkah, justru menjerumuskan pelakunya ke dalam keburukan, menghitamkan hati, dan menyeretnya pada malapetaka akhirat.

Hisbah dan Prinsip Amanah

Sejarah Islam memperkenalkan lembaga hisbah yang bertugas mengawasi perdagangan, pajak, dan urusan publik. Petugas hisbah wajib menyatakan adil, jujur, dan takut kepada Allah. Mereka tidak boleh memperkaya diri sendiri, melainkan harus memastikan tidak ada pihak yang dirugikan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Namun demikian, dalam praktik modern, kita kerap menjumpai oknum yang justru menjadikan jabatan sebagai ladang korupsi. Islam menegaskan bahwa perbuatan itu merupakan dosa besar. Rasulullah SAW bersabda:

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai tanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagai teladan, Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam mengurusi umat. Beliau hidup sangat sederhana meskipun memiliki kekuasaan besar. Beliau menggunakan harta yang masuk ke baitul mal sepenuhnya untuk kepentingan umat. Terlebih lagi, beliau lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan keluarganya sendiri.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa seorang pemimpin atau petugas publik tidak boleh mencari keuntungan pribadi dari jabatannya. Sebaliknya, mereka harus melayani rakyat dengan amanah, menegakkan keadilan, dan menjaga hak-hak masyarakat.

Dampak Sosial dari Pemerasan

Sedangkan dampak sosial dari pemerasan sangatlah luas. Pertama, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada negara. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, lalu enggan membayar pajak. Akibatnya, pembangunan dan kerugian justru menimpa rakyatnya sendiri.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Kedua, korupsi budaya semakin mengakar. Jika praktik pemerasan terus berlangsung, maka muncul lingkaran setan: rakyat berusaha menghindari pajak, petugas semakin keras menekan, lalu praktik suap semakin marak. Pada akhirnya, sistem yang lahir semakin jauh dari nilai keadilan.

Ketiga, keberkahan hilang. Islam mengajarkan bahwa keberkahan harta sangatlah penting. Harta yang diperoleh melalui jalan zalim tidak akan membawa manfaat meski tampak berlimpah. Allah SWT menegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 188:

Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Dengan tegas, ayat ini melarang segala bentuk pemerasan, termasuk dalam urusan pajak.

Hukuman bagi Pemeras

Selain itu, Islam menggolongkan pemerasan sebagai bentuk kezaliman. Orang zalim akan menerima hukuman berat, baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:

Kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, petugas pajak yang memeras rakyat bukan hanya menambah beban hidup orang lain di dunia, tetapi juga menyeret dirinya ke dalam kegelapan akhirat. Tidak ada jalan selamat bagi mereka kecuali mengkonversi dengan sungguh-sungguh, mengembalikan hak yang telah mereka ambil, dan meminta maaf kepada rakyat yang zalimi.

Suara Rakyat sebagai Jihad

Pada akhirnya, petugas pajak sejati harus berperan sebagai abdi negara sekaligus rakyat. Mereka memikul amanah besar dalam mengelola keuangan negara. Jika mereka jujur ​​dan adil, keberkahan hadir, adanya kepercayaan dari rakyat, dan negara menjadi sejahtera. Akan tetapi, jika mereka justru memeras rakyat, maka mereka termasuk golongan orang zalim yang harus dilawan. Rasulullah SAW bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran (perkataan yang adil) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Hadis ini menegaskan bahwa rakyat tidak boleh diam ketika dizalimi. Suara mereka justru menjadi kunci penting untuk menegakkan keadilan.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement