Sejarah
Beranda » Berita » Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Sejarah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Sejarah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

 

Lengkap dengan latar historis, versi berbeda asal-usul, dan perkembangannya di Nusantara serta pandangan ulama. Nabi, para sahabat, maupun tabiin/tabi’ut-tabii’in tidak pernah memperingati Maulid Nabi pada masa awal Islam. Tradisi perayaan kelahiran Nabi baru muncul beberapa abad kemudian.

Tiga Teori Awal Munculnya Maulid

a. Dinasti Fatimiyah (Ubaidiyyun) di Mesir (abad ke-4 H)

Dinasti ini mempelopori, mengawali, dan mempopulerkan perayaan Maulid Nabi serta keluarga Nabi seperti Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain, yang kemudian mendominasi sebagai rujukan utama dan banyak dikutip oleh banyak kalangan.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Sejarawan Al-Maqrizi mencatat bahwa mereka memang memperkenalkan enam perayaan kelahiran sekaligus.

Dukungan akademis lain menguatkan bahwa masyarakat Sunni baru mulai merayakan Maulid secara publik pada abad ke-13, setelah adanya pengaruh awal dari Fatimiyah.

Pendapat dari komunitas Muslim konservatif: “They introduced six mawlids … This celebrating … was not present among the Sahabah … introduced during the fourth century … by the ‘Ubaydiyyun who ruled Egypt at that time.”

b. Gubernur Irbil, Sultan Abu Sa’id Muzhaffar Kukabri (abad ke-6 H)

Kalangan Sunni di Irak melaksanakan perayaan Maulid atas inisiatif sang gubernur. Ia mengundang ulama, tokoh tasawuf, memberikan jamuan dan sedekah.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

c. Shalahuddin Al-Ayyubi (abad ke-6 H)

Mereka mempopulerkan Maulid dalam tradisi Sunni untuk membangkitkan semangat jihad melawan Perang Salib dan mempererat solidaritas umat Islam.

Peran Maulid di Dunia Islam

Abbasiyah: Tradisi muncul lebih awal melalui peran Khayzuran, ibu Harun al-Rashid, yang memfasilitasi kegembiraan di kota-kota suci.

Otomani: Menjadikan Maulid hari libur resmi sejak masa Sultan Murad III.

Setiap kawasan pun mengisi perayaan dengan tradisi lokal seperti pembacaan puisi, zikir, nyanyian pujian, serta bazar.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Maulid di Indonesia — Jejak Wali Songo dan Tradisi Lokal

Wali Songo menyebarkan Maulid secara luas di Indonesia sejak abad ke-14–15 sebagai sarana dakwah.

Dikenal dengan berbagai nama dan bentuk budaya seperti:

Gerebeg Mulud — mengarak gunungan nasi di Jawa.
Sekaten di Yogyakarta dan Solo.
Maudu Lompoa di Sulawesi Selatan — prosesi perahu Pinisi.

Pandangan Hukum Menurut Ulama

Bid’ah Hasanah (Inovasi Baik)

Imam As-Suyuthi menilai perayaan Maulid sebagai bid’ah hasanah yang berpahala, selama perayaan tersebut memuliakan Nabi dan tidak menyimpang dari syariat.

Sebaliknya: Bid’ah yang Tidak Dibenarkan

Sebagian ulama lainnya menilai bahwa perayaan Maulid merupakan bid’ah yang sia-sia atau sesat lantaran Nabi dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya. Mereka menekankan cukup menjalankan sunnah Nabi tanpa tambahan acara khusus.

Ringkasan Sejarah Perkembangan Maulid

Periode / Pelaku Kontribusi terhadap Maulid: Masa Nabi & Khulafaur Rasyidin Tidak ada peringatan Maulid. Dinasti Fatimiyah (Mesir, abad ke-4 H) Perayaan awal kelahiran Nabi & keluarga.

Sultan Abu Sa’id Kukabri (Irbil) Perayaan kultus dan sedekah ke komunitas Shalahuddin Al-Ayyubi Populerkan Maulid untuk semangat jihad.

Abbasiyah & Otomani Formalisasi dan ekspansi perayaan publik. Nusantara (Wali Songo) Adaptasi ke budaya lokal Indonesia

Kesimpulan: Boleh Jika Untuk Memuliakan Nabi

Maulid Nabi pertama kali muncul beberapa abad setelah Nabi SAW wafat, bukan dari zaman awal Islam.

Tiga versi utama: Dinasti Fatimiyah, Gubernur Irbil, dan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Perayaan ini berkembang menjadi tradisi keagamaan dan budaya di dunia Muslim.

Pendapat ulama terbagi: boleh jika memuliakan Nabi dan sesuai syariat, tapi ada yang menolak karena dianggap bid’ah.

 

 


TERBAIK UNTUKMU

 

Setiap manusia tentu memiliki harapan: ingin sesuatu datang lebih cepat, ingin doa segera terkabul, ingin jalan hidup terasa mudah tanpa hambatan. Namun, sering kali kenyataan berbeda dengan yang kita bayangkan. Di sinilah kita belajar, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baiknya pengatur.

Allah tidak pernah menunda sesuatu kecuali ada kebaikan di baliknya. Allah juga tidak pernah mempercepat sesuatu kecuali itu memang yang terbaik untuk kita. Bahkan ketika ujian, musibah, atau cobaan datang, itu pun tidak lepas dari rahmat dan kasih sayang-Nya.

Keterlambatan bukanlah penolakan. Doa yang belum terkabul bukan berarti Allah tidak mendengar, tetapi mungkin Allah sedang menyiapkan waktu yang lebih tepat, kondisi yang lebih matang, atau menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang kita minta.

Musibah bukanlah hukuman. Kadang Allah hadirkan kesedihan, kehilangan, atau ujian agar kita lebih dekat kepada-Nya, agar hati kita lembut, agar dosa kita berguguran, atau agar derajat kita diangkat lebih tinggi.

Kebaikan ada dalam setiap takdir. Ketika Allah memberi, itu karena kasih sayang-Nya. Ketika Allah menahan, itu juga karena kasih sayang-Nya. Maka, tugas kita hanyalah bersabar, bersyukur, dan berbaik sangka (husnuzhan) kepada Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, semua urusannya adalah kebaikan. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Jadi, ketika sesuatu terasa terlambat, berat, atau tidak sesuai harapan, yakinkan hati kita: Allah sedang menyiapkan yang terbaik untuk kita. Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat (Tengku Iskandar, M.Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement